Ma’ruf Amin, Si Buah Simalakama, Catatan kecil pojok warung kopi ndéso. Oleh: Malika Dwi Ana. Pengamat Sosial Politik
Konsep awal mengusung Ma’ruf Amin (MA) sebagai cawapres bagi petahana, adalah diharapkan sebagai jurus ampuh lagi tajam guna memecah serta meraup suara muslim yang merupakan pasar terbesar dalam Pilpres 2019, selain golongan milenial selaku pemilih pemula, yang juga tak boleh dianggap enteng adalah emak-emak. Tetapi kenyataannya, mengusung MA justru blunder. Inilah yang dirasakan kubu petahana. Kenapa?
Dalam praktik, jurus handal tersebut kini berubah mentah, tumpul bahkan menjadi bumerang. Misalnya, selain terbukti saat momen reuni alumni unjuk rasa 212 digelar ulang di Jakarta (2/12/2018), alhasil, himbauan MA agar umat Islam tidak hadir, ternyata tidak digubris oleh umat. Jumlah massa justru terlihat membludak lebih besar dibanding even reuni alumni 212 ditahun sebelumnya.
Inilah awal kepanikan pihak petahana. Judulnya keliru atau salah berstrategi di awal peperangan. Ya dalam pertempuran apapun, salah teknis atau keliru dalam hal taktis saja bisa berakibat fatal, apalagi ini salah strategi? Ya paniklah.
Juga beredarnya video wawancara MA dengan reporter swasta bahwa ia terpaksa serta menyesal telah memenjarakan Ahok, ia meminta maaf, fakta ini bukannya memetik simpati muslim malah sebaliknya, kian melukai umat Islam. Bela Islam merupakan wujud fatwa jihad dalam wujud lain kok disesali. Artinya, menjilat ludah sendiri. Pemilih muslim semakin tahu sikap dan posisi Ma’ruf Amin yang oportunis demi kekuasaan; menghalalkan segala cara termasuk menjilat ludahnya sendiri. Simalakama, maka hal ini menambah deret blunder bagi pihak petahana. Umat muslim kian menjauh.
Siapapun, ketika panik datang menerjang, maka langkahnya akan gugup, tidak konsepsional, bahkan cenderung ngawur dan membabi buta, grusa-grusu istilahnya wong Jowo. Wacana mengganti MA dengan sosok lain yang lebih milenial dalam rangka mengimbangi gerak laju Sandi Salahuddin Uno, cawapres PS, merupakan cermin atas kepanikan tadi. Untungnya tidak jadi dilaksanakan. Kalau jadi, bakalan menuai blunder lagi dan lagi.
Saat ini, kubu petahana menyadari bahwa blunder diawal tersebut tidak ada obatnya. Bahkan jika MA “dipotong” di tengah jalan pun justru semakin memperbanyak deret blunder. Kelompok Islam yang mendukung MA bisa lari sebar-lebar, mengalihkan dukungannya.
Jadi, posisi MA kini di mata petahana bukan cuma “beban,” dalam gerobaknya, karena selain kehadirannya tak mampu mendongkrak elektabilitas petahana, juga ibarat buah simalakama. Dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak yang mati.
Jadi ingat lagunya Elpamas yang judulnya “Pak Tua Sudahlah”;
“Engkau Yang Sudah Tua Istirahatlah
Diluar Banyak Angin..
Pak Tua Sudahlah…”