Kampanye Jokowi Dilanda Krisis. Oleh: Asyari Usman, Wartawan Senior
Ada rapat penting pimpinan parpol pengusung Jokowi yang tak dibahas secara mendalam. Padahal, rapat ini mengisyaratakan ada sesuatu yang sangat urgen terkait kampanye paslonpres 01, Jokowi-Ma’ruf Amin (Ko-ruf). Rapat itu langsung dipimpin oleh ketua dewan pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN), Jusuf Kalla. Berlangsung di rumah wapres Jalan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta pada 17 Desember 2018.
Kalau dilihat dari ‘nature’ pertemuan ini, yang mereka sebut pertemuan tertutup, tentulah ada hal-hal ‘tak enak’ yang mereka bicarakan. Kalau situasi kampanye Ko-Ruf bagus, pastilah mereka menggelar pertemuan terbuka dengan sorotan banyak kamera TV. Sebaliknya, rapat tertutup hampir pasti membahas masalah-masalah yang sangat sensitif tentang kampanye Ko-Ruf yang, secara kasat mata, semakin terdesak belakangan ini.
Sebetulnya, sejak Reuni 212 (2 Desember 2018), kampanye Ko-Ruf dilanda ‘psychological effect’. Ada semacam ‘efek psikologis’. Kubu Jokowi, khususnya Tim Kampanye Nasional (TKN) kelihatan hilang semangat. Mereka semua bagaikan patah arang. Tak ada kutik. Tak ada cuit. Semuanya ciut.
Kampanye Ko-Ruf dilanda krisis. Krisis percaya diri. Mereka sudah bisa membayangkan di mana tempat berlabuh Ko-Ruf. Isyarat itu semakin jelas.
Menyusul pukulan Reuni 212, kampanye face-to-face Ko-Ruf ditolak di mana-mana. Di berbagai daerah, terlihat barisan kursi kosong di ruangan kampanye ‘indoor’. Di Jakarta, Pekanbaru, Banda Aceh, dll. Kehadiran massa secara artifisial adalah satu-satunya cara yang harus dilakukan. Ke mana Jokowi pergi, di situ dilakukan pengerahan massa.
Sialnya, di antara massa yang dikerahkan itu banyak ‘orang pintar’. Dan mereka nekat. Nekat mempermalukan Jokowi. Mereka itu anak-anak muda. Tetapi juga banyak orang dewasa. Belakangan ini, berswafoto dua jari dengan latar belakang Jokowi, trendy di mana-mana. Menyambut Jokowi di pinggir jalan dengan acungan dua jari, sekarang menjadi fenomenal.
Jadi, Jokowi tak hanya ‘disakiti’ dengan mengosongkan kursi-kursi kampanye ruangan (indoor). Melainkan juga ‘didera’ dengan acungan dua-jari (‘V’). Dan ini terjadi meluas. Bahkan di depan Istana sekali pun. Masyarakat tidak lagi perduli tantangan yang mereka hadapi dalam menunjukkan perlawanan.
Tak salah kalau kita meyakini bahwa rapat tertutup itu antara membicarakan perlawanan keras dari rakyat yang dilancarkan dengan santai. Jusuf Kalla (JK) kelihatannya mulai risau. Tapi tak tahu kita apakah beliau risau sungguhan atau risau ecek-ecek. Kuat dugaan saya, Pak JK cuma risau basa-basi. Apa iya dia perduli dengan kalah-menang Jokowi di pilpres 2019? Bukankah wapres yang pragmatis ini lebih banyak memikirkan apa yang akan dia lakukan setelah masa jabatannya selesai akhir tahun ini?
Baik, kita tinggalkan soal motivasi JK. Kita perlu menjawab pertanyaan besar. Mengapa bisa terjadi perlawanan meluas dari rakyat?
Kalau mau merenungkannya dengan satu pepatah, maka pepatah itu adalah “siapa menabur angin, akan menuai badai”. Maksudnya, kezoliman demi kezoliman yang ditebar di mana-mana, sekarang siap dipanen. Kesewenangan yang dilakukan karena kekuasaan, kini telah matang untuk dipetik hasilnya.
Seharusnya orang-orang bijak di kubu Ko-Ruf sudah tahu. Seharusnya mereka telah menyadari itu. Sepatutnya mereka paham bahwa itulah hukuman yang ditimpakan oleh rakyat terhadap kesewenangan penguasa. Sewajarnyalah mereka tahu bahwa ‘kesewenangan’ dan perbuatan ‘sesuka hati’, sudah tidak zamannya lagi. Sudah lama lewat eranya. Sudah ‘expired’. Cara-cara seperti itu sudah usang.
Dan seharusnya mereka ‘tobat’ dari perbuatan yang sewenang-wenang itu. Perbuatan-perbuatan sesuka hati itu.
Apa gerangan contoh-contoh kesewenangan dan sesuka hati itu? Mari kita ingat kembali sebagian.
Misalnya, penguasa menyepelekan aksi-aksi bela Islam yang dilaksanakan berkali-kali oleh umat pada 2016 dan 2017. Tidak saja dianggap remeh, para pemimpin aksi itu dikejar-kejar. Puncaknya, Habib Rizieq Syihab (HRS) dikenai dakwaan mesum. Akhirnya beliau hijrah ke Arab Saudi demi meredam situasi. Dari sinilah bermula langkah yang sangat keliru oleh penguasa. Bukankah ini kesewenangan?
Kemudian, sejumlah ulama dan ustad didatangi oleh orang-orang gila. Ada yang disiksa sampai meninggal dunia. Meskipun persekusi terhadap para ustad ini tidak diketahui pasti pelakunya, tetapi ada kesan bahwa pihak yang berwenang tidak serius menyelesaikan kasus-kasus itu. Bukankah ini juga kesewenangan?
Seterusnya ada persekusi terhadap kegiatan #2019GantiPresiden. Kegiatan ini pada mulanya dikatakan legal oleh berbagai pihak, termasuk pihak yang berkuasa. Namun kemudian, kegiatan yang dimotori oleh Neno Warisman itu dihadang di banyak tempat. Polisi dan intelijen ikut melakukan persekusi. Tidakkah ini kesewenangan?
Masyarakat mengamati cara pihak yang berkuasa dan berwenang dalam menangani berbagai kasus ujaran kebencian dan hoax. Ada kesan kasus-kasus yang para terduganya dari kubu lawan penguasa, biasanya cepat ditanggapi. Sebaliknya dari kubu pendukung penguasa cenderung dibiarkan.
Di tubuh pemerintahan, para penguasa secara berjemaah melakukan kesewenangan demi mempertahankan kekuasaan petahana. Rakyat melihat ini. Mereka mengamati itu. Rakyat mencatat begitu banyak ketidakadilan.
Contoh terbaru, Gubernur DKI Anies Baswedan disidang oleh Bawaslu dengan dakwaan melakukan pidana karena mengacungkan dua jari di depan rapat Partai Gerindra. Padahal, begitu banyak gubernur dan bupati/walikota yang menyatakan diri secara terang-terangan mendukung paslon 01. Dan mereka ini dibiarkan saja.
Tindakan sewenang-wenang seperti inilah yang sekarang menjadi panen badai Jokowi. Inilah yang membuat kampanye beliau terjerembab dan mengalami krisis yang serius.