Melihat Gus Dur Tidak Cukup Dengan Mata Kepala. Opini: Subairi, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukhlisin DDI Paria
Barang siapa yang didalam dirinya, tidak punya rasa keindahan, dirinya tidak akan mampu melihat alam semesta ciptaan Allah SWT. Itu sebagai suatu yang indah. Maka barangsiapa yang hatinya keruh, kotor dan tidak bersih, dia memang tidak akan bisa melihat eksistensi (wujud keberadaan) Gus Dur sebagai sesuatu yang indah. karena itu, untuk melihat Gus Dur, tidak cukup hanya dengan melihat mata kepala. Tetapi harus melihat dengan kacamata keindahan. Baru terasa indahnya Gus Dur.
Kita bisa meragukan bahwa langit itu tidak biru, Kita bisa meragukan bahwa matahari tidak bulat. Bahkan kita bisa meragukan bahwa bulan tidak kuning keemasan. Tetapi jangan pernah meragukan cintanya Gus Dur kepada bangsa Indonesia.
Kalau saya menulis untuk menarasikan tentang Gus Dur, bukan berarti saya sangat faham dan mengerti tentang beliau. Tetapi karena rasa mahabbah (cinta) dan kerinduan kepada sosok yang menurut sebahagian orang amat sangat kontroversial.
Jadi bagaimana mungkin saya yang hanya sebutir embun yang menetes di pagi hari, akan mampu berbicara untuk membahas tentang luasnya samudera. Bagaimana mungkin dan sungguh mustahil, selembar rumput akan berkomentar tentang luasnya hutan-hutan.
Kira-kira, bagaimana Gus Dur menatap dan melihat Indonesia? Indonesia itu dipisahkan oleh pulau-pulau, dipisahkan oleh lautan yang terbentang luas. Tetapi Indonesia juga dipersatukan oleh lautan. Dan ketika daratan tidak lagi memberi kontribusi berupa rezki sebagai bekal untuk bertahan hidup, lautanlah sebagai garansi (jaminannya) yang menjanjikan rejeki buat kita semua. Alangkah indahnya Indonesia dan Gus Dur seperti ini melihat Indonesia.
Bahkan kalau tidak ada Indonesia amat sulit orang mencari perbatasan antara Samudera Hindia, dengan lautan Teduh di dunia ini. Jadi Allah berkehendak menciptakan Indonesia itu ada motifnya. Sebagaimana Allah menciptakan Gus Dur, adalah anugerah besar yang harus kita syukuri, bagi republik Indonesia dan bangsa Indonesia.
Kalau saya tidak salah ingat, tepatnya tahun 1960, rektor Univetsitas Al-Azhar Prof Muhammad Syaltut datang ke Indonesia. Anehnya belau bukanlah seorang penyair, tetapi mempu mencari diksi (kata) yang sangat indah dan dijadikan suatu syair yang sangat menarik perhatian khalayak. Beliau mengatakan, “ditetepi pantai buih-buih putih berkejaran, menciumi bibir-bibir pantai, dan di pantai-pantai yang lain nyiur melambai-lambai mengucapkan selamat datang kepada para pahlawan, yang tidak lain adalah nelayan yang membawa ikan dari laut”.
Kita juga sering mendengar sebuah ungkapan bahwa Indonesia ini adalah serpihan atau potong dari syurga yang diturunkan Allah di bumi. Ternya ini juga merupakan kata-kata indah nan bijak yang diungkapkan Prof Muhammad Syaltut.