oleh

Dibalik Jargon Orang Baik Pilih Orang Baik, Sebuah Opini Malika Dwi Ana

DIBALIK JARGON ORANG BAIK PILIH ORANG BAIK
(Catatan kecil pojok warung kopi ndéso)

Oleh: Malika Dwi Ana
(Pengamat Sosial Politik)

Orang dzalim akan berkumpul dengan orang dzalim itu sudah biasa. Orang baik berkumpul dengan orang baik juga sudah biasa. Karena mereka akan masuk ke frekuensi di channel yang sama. Pemeo diatas kiranya cocok untuk melihat fenomena panggung politik nasional baru-baru ini.

Subconscious manusia cenderung senang hidup sesuai dengan habitatnya, cenderung mengelompokkan diri dengan manusia lain yang se-tujuan hidup, dan se-jalan pikiran. Dan ditahun politik ini mereka juga mengelompokkan diri mereka dalam kubu-kubu di timses capres yang berlaga di April 2019 besok. Kecenderungan manusia memilih yang sesuai dengan frekuensinya. Sebut misal UYM. Dulu sebelum pro petahana, seingat saya banyak orang di kubu 01 menuduh UYM menipu soal investasi. Sekarang sudah jadi temen, ya pada diem.

Belakangan ada jargon bertaburan di medsos “Orang Baik Memilih Orang Baik.” Jargon orang baik pilih orang baik itu buat sebagian publik dianggap lucu, seolah jika tidak memilih capres pilihan mereka, berarti bukan orang baik, ini tafsiran bapernya sih. Tapi lepas dari berbagai tafsir, intinya publik seperti diajak membenarkan pilihan yang terkesan dipaksakan; dipaksa mengakui bahwa orang yang selama ini banyak bohongnya adalah orang baik. Ya capres onoh konon orangnya baik.

Sudah kayak yang punya bocoran dari malaikat. Tapi yang jelas, kebaikan itu tidak menular ke die harder-nya. Gerombolan tukang bully yang senang nyebarin data-data palsu sebagaimana junjungannya, meski setelahnya diralat…diralatnya nyaris tak terdengar. Pernyataan debat kok dikoreksi setelah event debat selesai. Opo tumon? Dikritik ngga mau, malah tersinggung.

Baca Juga :  AMAIB: GCG Asia Melakukan Bisnis Penipuan Bermodus Investasi Bodong

Maunya auto koreksi. Dari sini terlihat bahwa pengendalian dirinya jelas belum siap hidup di tatanan masyarakat demokrasi. Dalam debat, mestinya menguasai seluruh data, tidak bisa dong bilang tidak tahu data yang benar. Tapi ya sepertinya niat banget untuk berbohong. Dan parahnya, ini sistemik, sampai ke info-info grafis di sosmed.

Bagaimana pula jika berjanji tidak ditepati, maka apakah boleh disebut janji palsu atau hoax? Barangkali janji palsu tidaklah sama dengan hoax. Janji palsu itu kategorinya penipuan. Tingkatannya lebih berat dari berbohong. Bahwa berbohong tidak sama dengan hoax itu benar. Karena hoax itu kaitannya dengan kabar atau berita untuk publik. Ada kesengajaan untuk membohongi atau mengelabui publik. Kalau bohong bisa diranah privat, begitu sepertinya….

Soal kebakaran hutan misalnya, bisa-bisanya bohong tapi dibelain mati-matian. Katanya tiga tahun terakhir tidak terjadi kebakaran hutan, dan lahan gambut. Faktanya, data kebakaran hutan itu ada ditiap tahun:
2013: 4.918,74 Hektar
2014: 44.411,36 Hektar
2015: 261.060,44 Hektar
2016: 14.604,84 Hektar
2017: 11.126,49 Hektar
2018: 4.666,39 Hektar (Sumber, Kementerian LK dan Kompas TV). Malah beliaunya sempat selfie di lokasi kebakaran hutan…kenapa melali lupa?

Baca Juga :  Hikmah Iedul Fitri, Sebuah Opini Malika Dwi Ana
Lalu soal konflik agraria (pertanahan). Begitu banyaknya konflik agraria, tapi dengan angkuhnya didalam debat yang ditonton ratusan juta rakyat mengatakan tidak ada. Datanya, seperti dilansir oleh CNN; 41 orang tewas, 51 orang tertembak, 546 dianiaya, dan 940 petani; pejuang lingkungan dikriminalisasi.trjdi 1.769 kasus konflik agraria 2015 – 2018. Kasus tersebut meliputi konflik perkebunan, properti, hutan, laut, tambang dan infrastruktur. (Data: Catahu KPA 2018)

Impor jagung tahun 2018 sejumlah 731.000 ton data BPS dibilang dibawah 200.000 ton. Saya tidak cukup mengerti, apakah bohong itu sudah menjadi karakter? Seperti tidak punya beban ngomong seperti kentut?

Bukankah dalam Islam diajarkan bahwa diantara tanda-tanda seorang pemimpin itu adalah :
-jika berkata tidak berdusta
-jika diberikan amanat tidak berkhianat
-jika berjanji, menepati. Di dalam ajaran agama manapun dengan jelas dan tegas diajarkan beberapa nilai-nilai moral yang kurang lebih sama. Bahwa “SETIAP ORANG BOLEH SALAH, tetapi TIDAK BOLEH BERBOHONG”. Jika salah, sewajarnya lalu meminta maaf dan memperbaiki kesalahan. Pepatah Jawa juga bilang; “Ajining Diri Gumantung Ana Ing Lathi,” kehormatan diri itu bergantung pada lisannya, mulutnya. Jika seringnya berbohong, apakah layak dipercaya untuk lanjut?

Baca Juga :  Polri Gelar Pelatihan 2.284 Orang untuk Jadi Tracer Covid-19

Menutup dialetika diatas, ada pepatah bilang; jangan berbohong kepada pemikir, itu tidak akan pernah berakhir dengan baik. Karena orang-orang semacam itu telah melatih otak mereka untuk mencari lubang dalam sebuah cerita. Jika ada omong kosong tidak masuk akal, mereka akan memikirkannya berulang kali sampai masuk akal.

Misal, dikisah Cinderella….jika memang itu sepatu milik Cinderella yang konon katanya pada akhir cerita diyakinkan pas dan cocok klop di kakinya, lalu ngapain juga lepas begitu saja saat lonceng berbunyi dan Cinderella terburu-buru pulang saat di pesta?

Dimulai dengan data bohong, maka patut diduga data berantai dalam narasi capres petahana juga berpotensi bohong dan manipulatif. Lalu pantaskah disebut orang baik? Memang sulit untuk menerima kebenaran, bila ternyata justru kebohongan-kebohongan lah yang sebenarnya ingin Anda dengarkan.

Jika Anda tahu kebenaran, maka Anda akan sulit dan muskil untuk dibohongi; sekaligus mengantongi dua pilihan sebagai bonus:
– Menyampaikan kebenaran atau
– Mendukung kebohongan yang Anda ketahui.

Kopi_kir sendirilah!

#kopitalisme #kopilosophi #kopi_taunpulitik #baper_akurangurus #malesribut #senggolmutilasi

Loading...

Baca Juga