oleh

Logika Agama Tentang Kafir Atau Tidak-nya Seseorang

Logika Agama Tentang Kafir Atau Tidak-nya Seseorang. Oleh : Subairi, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukhlisin DDI Paria.

Selama orang itu mengaku saya Islam, membaca syahadat, dan misalnya dikatakan di KTP-Nya dia Islam, ya dia tidak boleh dikafirkan apapun yang dia lakukan. Karena masalah kafir atau tidak itu urusan bathin, sedangkan kita hanya melihat lahiriahnya. Rasulullah SAW mengatakan “ kita manusia ini hanya menghukumi atau menilai perbuatan manusia dari perbuatan lahiriahnya saja. Soal bathinnya itu urusan Allah SWT,”.

Nah itu solusi agar kita bersatu. Oleh sebab itu, mari kita berfungsi masing-masing di dalam posisi apapun kita ini, dinegara ini. Berfungsi untuk kebaikan kita bersama. Jangan khawatirlah ini negaranya tidak Islam. Tidak bisa. Ini dosa. Tidak. Ini sudah produk ijtihad para ulama. Negara lain dibentuk berdasarkan ijtihad ulamanya sendiri-sendiri.

Tidak ada satu bentuk negara yang diajarkan oleh Al-Quran atau Sunnah Rasul, itu tidak ada. Bentuk negara itu adalah produk ijtihad sesudah Rasul SAW, oleh sebab itu bentuknya bisa berbeda. Di Turki dan Arab jauh beda, Arab Saudi dan Iran beda, Iran dan Libia beda. Dua puluh dua negara Arab itu, mempunyai bentuk negara yang berbeda-beda namanya liga Arab. Organisasi Konfrensi Islam yang beranggota 57 negara Islam di dunia juga bentuk pemerintahannya berbeda. Karena apa? Karena itu merupakan produk ijtihad. Tidak ada yang kafir.

Apakah Itu benar apa tidak benar? Mana yang benar jawabannya? Benar semua berdasarkan kebutuhannya masing-masing. Dan kita jangan menyalah-nyalahkan disini. Ini adalah produk. Kita mempunyai sebuah negara yang dibentuk berdasarkan produk ijtihad yang benar. Oleh sebab itu marilah kita itu memposisikan diri sebenar-benarnya, apapun ini kalau kita digolongkan, dilihat dari sudut negara.

Baca Juga :  Logika Agama Revolusi Mental, Semakin Pintar Semakin Kurang Ajar

Kita semua terdiri atas tiga macam. Rakyat, pejabat dan yang ketiga intlektual, ilmuan, ulama. Nah, inilah yang bisa menjaga negara. Rakyatnya harus tertib, pemerintahnya harus benar-benar menegakkan hukum dan keadilan, sedangkan ulamanya juga harus benar-benar memberikan pendapat-pendapat yang obyektif untuk kemajuan. Kalau sudah ini dalam posisi yang benar, maka akan tercipta situasi yang yang kondusif, aman damai dan sejahtera.

Itulah sebabnya Imam Al-Ghazali mengatakan, “banyak sekali suatu negara itu rakyatnya rusak, suka mabuk, mencuri, menyalahkan orang, narkoba dan lain-lain. Rusaknya rakyat itu karena pemerintahnya yang rusak. Pemerintah tidak bisa menegakkan hukum dan keadilan dengan benar, pemerintah pandang bulu, rakyatnya rusak disebabkan pemerintahnya rusak”.

Baca Juga :  Arsyad Ambo Tuo Sampaikan Tiga Resolusi 2019 Kemenag Wajo

Tetapi banyak di suatu negara, pemerintahnya rusak karena intlektualnya rusak. Apa contoh Intlektualnya rusak? Ulamanya rusak? Apabila memberi pendapat hukum atau fatwa sesuai dengan pesanan. Memberi pendapat ilmiah sesuai dengan pesanan.

Maka kemudian keluarlah survey palsu. Ini pak, hasil survey begini. Bohong dia, intelektualnya bohong. Menyebabkan negara punya landasan untuk berbuat salah. Ketika pemerintah berbuat salah, rakyat pun ikut berbuat salah. Ibarat penyakit yang menular yang dapat menular dengan cepat kepada siapapun orang yang mendekat.

Kapan dan mengapa intlektual itu rusak? Banyak intlektual itu rusak, ulama-ulama rusak, karena cinta kepada harta, butuh duit dari penguasa, cinta kedudukan. Ingin mendapatkan kedudukan ini, kedudukan itu, sehingga ulama itu lalu memberi pendapat-pendapat palsu. Itulah yang kemudian menyebabkan rakyat itu rusak, karena pemerintah yang rusak.

Baca Juga :  Pondok Pesantren DDI Al Mukhlisin Gelar Simulasi UAMBN BK

Pemerintahnya rusak, karena tamak. Maaf saya katakan, ulama adalah intlektual dan ilmuan juga, yang kadang kala memberi pendapat sesuai situasi. Berubah pendapatnya, lalu diubah dijual lagi. Kalau harganya terlalu murah, dijual ke orang lain yang lebih mahal harganya.

Kembali pada akhirnya saya ingin mengatakan mari kita rawat dan syukuri negara ini dengan cara merawat sebaik-baiknya. Sungguh kita akan menyesal kalau negara ini terlanjur pecah tidak akan terkendali. Kita harus bersatu, dan jangan saling menyalahkan, jangan menyebut kita lebih sholeh dari orang lain, bahkan menyebut orang lain kafir.

Semua kita hargai, kerena perbedaan itu adalah ciptaanNya semata. Yang penting adalah bagaimana masing-masing menyadari posisinya, untuk berbuat yang terbaik bagi kehidupan masyarakat. Bukan menyebut orang lain kafir, sementara kita tidak melakukan apa-apa.

Loading...

Baca Juga