oleh

Pola Pikir Kerdil Jokowi, Sebuah Opini Miftah H Yusufpati

Pola Pikir Kerdil Jokowi. Oleh: Miftah H. Yusufpati, Wartawan Senior.

Tabiat Presiden Joko Widodo yang paling menonjol di tahun politik ini adalah mengklaim proyek-proyek sebagai hasil kerjanya. Padahal proyek-proyek itu sudah dirintis sejak presiden sebelumnya. Klaim terbaru adalah proyek MRT atau Mass Rapid Transit, boleh juga diindonesiakan menjadi Moda Raya Terpadu. Dia bilang, proyek MRT merupakan hasil keputusan politiknya dengan eks Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. “Kita putuskan saat saya gubernur saat itu dengan Pak Ahok,” pamernya, Kamis lalu.

Jokowi jelas ngibul. Lantaran itu, klaimnya mengundang berbagai reaksi negatif banyak nitizen di media sosial. Ekonom senior, Rizal Ramli, termasuk yang berkomentar negatif. “Seseorang yang melakukan klaim berlebihan atau over claim, tidak menghargai sumbangan orang lain, mencerminkan pola pikir yang kerdil dan cupet,” cuit Rizal Ramli Jumat 22 Maret lalu. “Indonesia terlalu besar untuk dipimpin orang-orang kerdil dan cupet,” tambahnya.

Selanjutnya, di mana letak ngibul Jokowi? MRT hadir di Jakarta tidak ujug-ujug atau tiba-tiba. Proyek ini digagas Baharuddin Jusuf Habibie pada 1985, saat dirinya menjabat Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Ada empat studi yang kemudian dikaji pada rentang 1985-1995, yaitu ‘Jakarta Urban Transport Program’ (1986-1987), ‘Integrated Transport System Improvement by Railway and Feeder Service’ (1988-1989), ‘Transport Network Planning and Regulation’ (1982-1992), dan ‘Jakarta Mass Transit System Study’ (1989-1992).

Baca Juga :  Ketum DPP KNPI: Semua Pihak Harus Bersikap Layaknya Keluarga Besar

Pada 1996, berdasarkan kajian-kajian BPPT, pembangunan MRT telah diputuskan dengan jalur awal yang menghubungkan Blok M di Jakarta Selatan, dan Kota di Jakarta Barat. Mekanisme pembangunan Build-Operate-Transfer (BOT) juga telah dipertimbangkan sehingga pihak swasta berperan dalam membangun, sebelum akhirnya diambil alih pemerintah.

Proyek ini terhambat krisis moneter pada 1997 sekaligus tumbangnya Orde Baru pada 1998. Rencana membangun MRT di Jakarta akhirnya tertunda, kemudian baru serius dimulai lagi pada 2005. Kala itu, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memasukkan MRT Jakarta sebagai salah satu proyek nasional.

Karena sudah menjadi proyek nasional maka Jepang siap mendanai proyek itu. Penandatanganan perjanjian pinjaman pembiayaan pembangunan MRT dilakukan di Tokyo, Jepang, oleh Gubernur Japan Bank for International Cooperation/JBIC, Kyosuke Shinozawa, dan Duta Besar Indonesia untuk Jepang, Yusuf Anwar. Besaran komitmen pinjaman itu mencapai ¥125.237.000.000. Penandatanganan perjanjian dilakukan 28 November 2006.

Baca Juga :  Reshuffle Kabinet: Ilusi Kesejahteraan Demokrasi. Opini Ainul Mizan

Selanjutnya, pada 17 Juni 2008, Pemerintah Provinsi DKI di bawah kepemimpinan Fauzi Bowo mendirikan PT MRT Jakarta sebagai salah satu BUMD Pemerintah Provinsi DKI. 99,98% saham PT MRT Jakarta dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI. Sisanya, 0,02% dimiliki BUMD lain, PD Pasar Jaya.

Pada 10 Oktober 2013 Gubernur DKI Jakarta yang terpilih melalui Pilkada DKI 2012, Joko Widodo, resmi memulai proyek MRT Jakarta di bakal Kawasan Integrasi Dukuh Atas (KIDA), Jakarta Pusat.

Menjelang masa operasional, Gubernur DKI Jakarta yang terpilih melalui Pilkada DKI 2017, Anies Rasyid Baswedan, menamai setiap rangkaian kereta MRT Jakarta ‘Ratangga’. Selain menamai Ratangga, melalui program lainnya, Jak Lingko, Anies juga mengintegrasikan MRT Jakarta dengan moda-moda transportasi yang beroperasi di Jabodetabek. Moda transportasi itu utamanya TransJakarta dan sejumlah rute angkutan kota (angkot).

Di awal pengoperasiannya, sudah ada 12 rute TransJakarta dan Jak Lingko yang beroperasi. Secara total, MRT Jakarta akan diintegrasikan juga dengan KRL CommuterLine, kereta bandara Railink, dan kereta ringan atau Light Rail Transit (LRT) Jabodebek.

Jika menyimak runtutuan cerita di atas, siapa pun gubernur DKI sudah pasti akan melanjutkan pembangunan MRT. Andai Fauzi Bowo yang menang, bukan Jokowi-Ahok, sudah pasti MRT finish di tangannya. Jadi, klaim bahwa MRT jadi karena Jokowi sudah tentulah ngibul.

Baca Juga :  Liberalisasi Perfilman, Buat Generasi Kian Terancam. Opini Riska Nur A

Sebelumnya, Jokowi juga mengklaim Palapa Ring sebagai proyeknya, padahal pembangunan Palapa Ring sudah dikerjakan sejak era SBY. Belum lagi klaim jalan tol sampai pembebasan Siti Aisyah, terdakwa pembunuhan Kim Jong Nam, kakak pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Semua itu bisa-bisanya Jokowi saja.

Said Didu, eks Sekretaris Kementerian BUMN, pun menyindir, “Lama-lama candi Borobudur juga diklaim.”

“Borobudur dan Prambanan perlu diresmikan kembali. Dahulu kala belum sempat…” sambar politisi PKS, Fahri Hamzah.

Pada tahun 2017 lalu ada orang bernama Sabar Nababan. Ia mengklaim atau mengaku-aku sebagai tuhan. Kalangan dokter memvonis Sabar mengidap skizofrenia. Ia mengidap penyakit waham yang bersifat agama. Namun waham yang paling sering ditemukan adalah waham kebesaran di mana orang merasa dirinya istimewa. Jokowi belum sampai sejauh itu. Dan semoga saja sifat mengaku-aku Jokowi bukan sebagai gejala sakit skizofrenia.

Loading...

Baca Juga