Mengapa Ijtimak Ulama II, II, III Tak Memiliki Pengaruh Pilitik Signifikan? (5 Penyebab), Oleh: Denny JA, Peneliti.
Bukankah pengaruh Ulama dalam masyarakat Indonesia sangat besar? Tapi mengapa capres yang didukung Ijtimak Ulama I dan II kalah dalam Pilpres 2019, sesuai hitungan semua Quick Count? Juga kalah dalam perhitungan Real Count KPU yang masih terus berproses.
Kini muncul lagi Ijtimak Ulama III yang menganjurkan untuk mendiskualifikasi Jokowi dalam Pilpres 2019. Akankah hasil akhir kembali rekomendasi Ijtimak Ulama ini kalah? Jokowi tetap dilantik sesuai dengan prosedur dan hukum yang sudah ditetapkan.
Mengapa seruan dan sikap politik para ulama ini kalah dalam masyarakat yang menghormati ulama? Ini pertanyaan yang sering diajukan pada saya dari aneka kalangan.
Bahkan ada pula yang bertanya sambil bergurau: Mengapa Ijtimak Ulama dikalahkan oleh Ijtimak Quick Count?????
Lima jawaban saya
Pertama, Ulama yang membuat Ijtimak I, II dan III, bukanlah ulama mainstream Indonesia, baik dari segi jumlah ataupun ormas yang diwakili.
Dari segi jumlah, mereka sangatlah kecil dibandingkan seluruh ulama yang ada di Indonesia. Jumlah ulama yang berkumpul di Ijtimak Ulama I, II dan III, katakanlah sekitar 500 ulama.
Sementara total ulama di Indonesia ada sekitar 4 juta lebih. Ratio populasi dan ulama di Indonesia 250 juta: 4 juta. Dalam populasi 60 rakyat terdapat sekitar 1 Ulama.
Total ulama dalam Ijtimak Ulama hanya 500 dari 4 juta. Alias ulama yang kumpul di Ijtimak Ulama hanya 0, 0125 persen saja. Jumlah mereka terlalu kecil untuk mewakili ulama yang ada.
Dari sisi asal muasal Ormas, juga nampak. Pimpinan yang masih aktif dalam kepengurusan ormas paling berpengaruh seperti dari NU dan Muhammadiyah tak aktif dalam Ijtimak Ulama itu.
Dari mana angka 4 juta ulama itu diperoleh? Ini hitungan kasar dari melihat daftar total pesantren plus jumlah mesjid plus jumlah perguruan tinggi Islam.
Data 2016, ada 28, 194 pesanten di seluruh pelosok tanah air. Katakanlah rata data dalam 1 pesantren ada lima ulama, total ulama dari pesantren ada sekitar 140 ribu.
Data 2015, Indonesia memiliki sekitar 6000 perguruan tingggi keagamaan. Ini perguruan tinggi agama terbanyak di dunia dalam satu negara. Tak pula mengherankan karena umat Muslim Indonesia di dunia juga terbanyak. Jika dalam satu perguruan terdapat dosen agama yang juga disebut ulama sebanyak 10 saja, maka ada 600 ribu ulama.
Data 2015, terdapat 800 ribu mesjid di seluruh Indonesia. Katakanlah dalam satu mesjid itu rata rata berkumpul 4 orang yang bisa disebut ulama, total berjumlah 3.2 juta ulama.
Maka 3,2 juta ulama + 600 ribu ulama + 140 ribu ulama, total sekitar 4 juta ulama.
Kecilnya pengaruh Ijtimak Ulama I, II dan III karena yang berkumpul di sana hanya 500 ulama dari total 4 juta ulama yang ada. Hanya 0.0125 persen!
Kedua, isu yang dibawa dalam Ijtimak Ulama I dan II bukan pula isu yang paling populer. Mereka mengusung Prabowo-Sandi.
Tapi Capres Prabowo tak sepopuler capres Jokowi. Sementara Prabowo menggandeng pengusaha. Sedangkan Jokowi justru menggandeng biangnya Ulama.
Ma’ruf Amin itu tokoh yang pernah menjadi orang pertama di MUI. Juga Ia pernah menjadi orang pertama di Rais Aam NU. Dari sisi wibawa keagamaan, Ma’ruf Amin tak bisa ditandingi oleh Prabowo + Sandi sekaligus. Ma’ruf Amin membawa pula gerbong ulama yang justru lebih banyak dan lebih mainstream.
Pesona Jokowi di kalangan pemilih Muslim dengan sendirinya lebih tinggi. Itu dibuktikan pula berkali- kali dalam aneka survei. Hanya di kantong suara Muslim saja, Jokowi menang dibandingkan Prabowo.
Data Exit Poll LSI April 2019, Jokowi menang atas Prabowo di segmen pemilih Muslim: 51.7 persen versus 48.3 persen. Tapi di pemilih minoritas kemenangan Jokowi telak sekali: 83.1 persen versus 16.9 persen.
Bisa dikatakan pemilih Muslim lebih nyaman dengan ulama yang berkumpul di belakang Jokowi + Ma’ruf Amin. Apalagi pemilih minoritas lebih nyaman berlabuh pada jenis ulama Ma’ruf Amin ketimbang Habieb Rizieq di barisan Ijtimak Ulama.
Kini datang Ijtimak Ulama III. Isu baru mereka usung. Tak tanggung tanggung, mereka mengusulkan Jokowi didiskualifikasi.
Mungkinkah? Diskualifikasi Capres yang menang juga bukan isu populer. Masalah diskualifikasi pilpres itu bukan pula wilayah para ulama. Itu sepenuhnya wilayah KPU dan MK.
Sedangkan KPU dan MK oleh undang undang diperintahkan hanya tunduk pada data yang sahih saja, bukan tunduk pada wacana. KPU dan MK tak tunduk baik pada Ulama di kubu Prabowo ataupun Ulama di kubu Jokowi. KPU dan MK hanya tunduk oleh bukti yang sahih.
Dari data Quick Count LSI Denny JA, Jokowi di 2019 unggul 17 juta suara. Selama para ulama yang berkumpul di Ijtimak Ulama III tak bisa menunjukkan bukti kecurangan sebanyak sekitar 17 juta suara, selama itu pula Jokowi tak bisa dikalahkan.
Memamg ada aturan diskualifikasi atas kecurangan yang massif, terstuktur dan sistematis. Tapi itu harus dibuktikan dengan dokumen yang sahih dalam jumlah yang dapat membalikkan kemenangan.
Jika kemenangan Jokowi di tahun 2014 saja susah dibalikkan, apalagi di tahun 2019. Di tahun 2014, Jokowi hanya menang di 5,4 juta suara. Di tahun 2019, Jokowi menang di 17 juta suara: tiga kali lipat lebih dibanding tahun 2014.
Aturan diskualifikasi memang ada dalam UU no 7 tahun 2017. Tapi pembuktian kecurangan untuk diskualifikasi ini sulit bin maha susah.
Ketiga, publik juga tahu persis ulama dalam Ijimak Ulama itu tidak murni menyuarakan suara agama. Sebagian dari mereka tim sukses Prabowo. Situasi ini membuat suara Ijtimak Ulama sudah dipandang bias politik.
Lihatlah Habieb Rizieq yang terkesan menjadi pemimpin mereka. Dalam pemerintahan Jokowi, ia terkena banyak kasus, termasuk kasus video porno. Itu kasus salah satunya yang membuat Rizieq hingga kini tidak di Indonesia.
Dan Publik sangat mengetahui itu. Kebalikan dari Jokowi, Prabowo sudah menyatakan berkali- kali. Sehari setelah ia dilantik sebagai presiden, ia sendiri yang akan menjemput Rizieq. Rizieqpun terbuka menyatakan dukungannya pada Prabowo.
Lihat pula barisan pentolan ulama di Ijtimak Ulama. Slamet Ma’rif, Yusuf Martaq, Bachtiar Nasir. Nama mereka juga tercatat sebagai pendukung Prabowo. Yusuf Martaq menjadi anggota Dewan Pengarah Tim Sukses Nasional Prabowo. Slamet Ma’rif sendiri sebagai Wakil Ketua Badan Pemenangan.
Bias politik dalam manuver Ijtimak Ulama juga menyebabkan himbauan mereka dianggap umat tak murni karena ajaran agama. Tapi itu himbaun yang sudah “kawin campur” dengan kepentingan politik Prabowo.
Keempat, kehadiran Ijtimak Ulama ini juga tak sepenuhnya mendapat dukungan penuh koalisi besar Prabowo. SBY sendiri menyatakan keberatannya. Ketika kampanye akbar Prabowo di GBK semarak, surat tertulis dibuat SBY. Ujar SBY, itu kampanye yang ekskusif, tak menggambarkan Indonesia yang beragam, semua untuk semua.
Ketika ulama di kubu Ijtimak Ulama ini menyerukan Prabowo gerakkan People Power atau meminta KPU menghentikan Real Count, pimpinan Demokrat juga bersuara sebaliknya. Prabowo diminta tak harus mengikuti seruan ulama yang tak lazim untuk sengketa pemilu di alam demokratis.
Kelima, figur Habies Rizieq sendiri. Dalam Ijtimak Ulama, publik menangkap kesan peran Habieb Rizieq sangat sentral. Namun gagasan tokoh ini dan catatan hukumnya membuat banyak pemilih Muslim tak nyaman. Apalagi pemilih Minoritas semakin tak nyaman lagi.
Wacana NKRI Bersyariah yang acap diwacanakan Habies Rizieq justru menakutkan kalangan minoritas. Tak heran, pemilih minoritas telak sekali mendukung Jokowi. Tak heran, angka Golput dalam pilpres 2019 kecil sekali karena mereka yang khawatir Prabowo menang berbondong bondong ke TPS untuk mengalahkan Prabowo.
Dalam bayangan mereka, Habieb Rizieq akan ikut berkuasa jika Prabowo presiden.
Pemilih Muslim yang abangan dan moderat juga tak nyaman dengan figur dan gagasan Habieb Rizieq. Bagi pemilih ini, masa depan Indonesia harus menuju dan menjadi negara modern seperti peradaban barat. Isu NKRI Bersyariah itu isu yang dianggap terlalu beresiko diterapkan.
Kekhawatiran yang sangat besar di kalangan pemilih minoritas dan pemilih Muslim abangan + moderat memberikan enerji lebih. Justru mereka ini yang menjadi kekuatan terbesar melawan Ijtimak Ulama I dan II, juga seri III sekaligus.
Jelas sudah. Itulah lima perkara mengapa seruan ijtimak Ulama I, II yang mendukung Prabowo ternyata malah dikalahkan. Seruan yang ke III soal diskualifikasi Jokowi, agaknya akan pula bernasib sama.
Lima perkara itu penjelas mengapa ijtimak ulama malah dikalahkan dalam mayoritas publik yang justru menghormati ulama.
Tapi mengapa Ijtimak Ulama dikalahkan pula oleh Ijtimak Quick Count? Apa kekuatan Ijtimak Quick Count?
Tentu ini pertanyaan yang rada bergurau. Sayapun menjawab dengan bergurau pula, walau substansinya serius.
Ijtimak Quick Count selalu menang karena ia setia pada data yang sahih, bukan pada tokoh. Ini era ketika data yang sahih mengalahkan tokoh, baik mereka ulama, ataupun umaro.