oleh

Makar, Makan Roti Bakar, Sebuah Opini Dimas Huda

Makar, Makan Roti Bakar. Oleh Dimas Huda, Pemerhati Politik.

“Kalau makar artinya makan roti bakar, saya suka,” ucap Eggi Sudjana terkekeh. “Gila, I kena makar. Gue merasa keren banget nih. Emang gampang kena makar,” sambung Lieus Sungkharisma tak kalah kocak.

Eggi dan Lieus sama-sama aktivis parlemen jalanan yang sudah kerap berurusan dengan polisi. Namun baru di era kini mereka menyandang tersangka tindak pidana keren: makar.

Lieus dan Eggi kini aktif melawan kecurangan dalam Pemilu 2019. Meski keduanya dilaporkan sebagai pelaku makar, mereka tidak peduli. Eggi menanggapi penetapan dirinya sebagai tersangka makar dengan candaan.

Menurut Eggi, seruan people power tidak mengandung unsur makar. Baginya seruan itu hanya untuk mengkritisi dugaan kecurangan pada Pemilu 2019. “Sekarang ini upaya kami untuk mengkritisi kecurangan pemilu atau pemilu yang curang, bukan makar,” ujar Eggi Sudjana di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (9/5/2019). Penyidik Polda Metro Jaya menetapkan Eggi sebagai tersangka kasus dugaan makar, yang dilaporkan oleh Suriyanto ke Bareskrim Polri.

Bagi Eggi, menyatakan pendapat di muka umum diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 E ayat 3. Perbuatan itu sah dan boleh. “Siapa yang menghalang-halangi dipidana satu tahun,” bebernya.

Di sisi lain, Lieus bersama Kivlan Zein juga dilaporkan ke Bareskrim Polri atas tuduhan makar oleh seseorang. Laporan itu kini dikaji polisi. Jadi yang sudah menyandang predikat makar baru Eggi. Soal Kivlan, dia juga sudah pernah menyandang predikat makar dua tahun silam, namun sampai kini kasusnya tidak jelas.

Makar Pertama

Menilik dari asal-usul kata aslinya, ‘makar’ berasal dari bahasa Arab, yaitu makron, masdar, yang berarti menipu, memerdaya, membujuk, mengkhianati, mengelabui, perbuatan makar.

Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah ‘makar’ memiliki tiga arti, yaitu akal busuk, tipu muslihat. Kedua perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dan ketiga perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.

Menurut guru besar hukum pidana Prof Hibnu Nugroho kepada detik.com dalam istilah hukum, makar tidak didefinisikan dengan tegas dalam KUHP. Penjelasan-penjelasan makar merupakan istilah yang dipakai oleh akademisi hukum untuk menterjemahkan aanslag (bahasa Belanda). Kata aanslag diartikan sebagai serangan yang bersifat kuat atau dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai violent attack, fierce attack.

Baca Juga :  Internet Record Everything and Forget Nothing

Di Indonesia, makar kerap ditemui. Seperti di Kesultanan Demak oleh Aria Penangsang pada 1549 dan Pemberontakan Kuti terhadap Kerajaan Majapahit masa pemerintahan Raja Jayanegara pada 1319.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno tercatat dalam sejarah pelaku makar pertama kali ialah Daniel Maukar yang dengan mengendarai pesawat tempur sendiri menyerang Istana Negara. Untunglah pada saat itu Presiden Soekarno tidak sedang berada di dalam istana. Daniel Maukar diadili atas tindakan makar terhadap negara dan juga presiden. Dia dijatuhi hukuman mati meski pada akhirnya diampuni dan hanya menjalani sekitar delapan tahun masa pemidanaan.

Makar Dalam KUHP

Tindak pidana makar dalam KUHP masuk Bab tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Pasal-pasalnya antara lain, Pasal 87. Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53.

Pasal 104: Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 106: Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 107: (1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun; (2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat (1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun

Baca Juga :  Logika Agama Abu Jahal, Krisis Iman VS Krisis Ekonomi

Pasal 139a: Makar dengan maksud melepaskan wilayah atau daerah lain dari suatu negara sahabat untuk seluruhnya atau sebagian dari kekuasaan pemerintah yang berkuasa di situ, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun

Pasal 139b: Makar dengan maksud meniadakan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan negara sahabat atau daerahnya yang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pasal makar pernah dua kali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon meminta makar harus dimaknai sebagai ‘serangan’, sehingga harus dianggap sebagai delik selesai. Namun MK menilai argumen itu tidak bisa diterima. MK berpendapat percobaan makar — tanpa perlu tujuan makar tercapai yaitu pemerintah yang terguling–pun sudah bisa dikenai delik.

“Sebab apabila kata ‘makar’ begitu saja dimaknai sebagai ‘serangan’, hal itu justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena penegak hukum baru dapat melakukan tindakan hukum terhadap seseorang apabila orang yang bersangkutan telah melakukan tindakan ‘serangan’ dan telah nyata timbul korban,” demikian bunyi putusan MK yang diketok pada 31 Januari 2018.

MK juga menepis anggapan bahwa delik makar bisa memberangus kebebasan berpendapat yang dilindungi UUD 1945. Sebab, negara berkewajiban melindungi kehidupan berbangsa, termasuk melindungi hak asasi manusia. MK juga memutuskan pasal makar adalah turunan langsung dari kedaulatan negara, sehingga MK tidak bisa menghapus pasal tersebut.

“Hukum memegang peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Justru harus dipahami bahwa pengaturan pasal a quo juga demi memberikan perlindungan kepada diri pribadi, keluarga pada rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan atas perilaku tindak pidana makar,” demikian MK.

Baca Juga :  Tiga Indikator Pemimpin Ideal Versi Erna Rasyid Taufan

Yang Punya Catatan Makar

Sebelum ini, penangkapan sejumlah tokoh dan aktivis dengan tuduhan pemufakatan makar sempat bikin heboh menjelang Aksi Bela Islam 212 di Jakarta, pada 2 Desember 2016. Lucunya, nasib kasus makar yang menjerat jenderal purnawirawan, seniman hingga aktivis 212 tersebut tenggelam begitu saja.

Dalam kasus pemufakatan makar jilid I polisi menetapkan tujuh tersangka yakni Rachmawati Soekarnoputri, Mayjen (Purnawirawan) Kivlan Zein, Brigjen (Purn) Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Husein, Eko dan Alvin Indra. Mereka dijerat dengan Pasal 107 Juncto Pasal 110 Juncto Pasal 87 KUHP tentang Makar.

Tiga tersangka lainnya, Sri Bintang Pamungkas, Rizal Kobar dan Jamran dijerat Pasal 28 Ayat 2 UU Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE). Sementara musisi Ahmad Dhani dijerat 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa atau Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kala itu, mereka dituduh akan memanfaatkan gelombang massa Aksi Bela Islam 212 untuk mengepung gedung MPR/DPR Senayan Jakarta mendesak parlemen mengamandemen UUD 1945 dan mencoba menggulingkan pemerintahan Presiden Jokowi.

Selang beberapa waktu kemudian, yakni pada Jumat 31 Maret 2017 menjelang Aksi Bela Islam 313, polisi kembali menangkap lima tersangka makar jilid II karena dituduh akan menguasai parlemen lewat gorong-gorong dan jalan setapak menuju gedung MPR/DPR Senayan.

Mereka adalah Sekjen FUI Muhammad Al-Khaththath, Pimpinan Gerakan Mahasiswa Pelajar Bela Bangsa dan Rakyat (GMPBBR) Zainuddin Arsyad, Wakil Koorlap Aksi Bela Islam 313, Irwansyah serta Panglima Forum Syuhada Indonesia, Diko Nugraha.

Semua tersangka tersebut, baik tersangka makar jilid I maupun jilid II sudah dikabarkan telah mendapatkan penangguhan penahanan dan tidak ada satupun berkas perkara mereka yang dinyatakan lengkap alias P-21 sehingga belum dapat diadili.

Pantas saja, mereka yang menyandang tersangka makar asyik-asyik saja. “Makan roti bakar, yuk …”

Loading...

Baca Juga