oleh

257 Tersangka Ricuh dan Kualitas Politik Capres, Sebuah Opini Denny JA

257 Tersangka Ricuh dan Kualitas Politik Capres. Oleh: Denny JA, Lingkar Survei Indonesia.

Dalam pemilu presiden 2009, Capres Jusuf Kalla dikalahkan Capres SBY. Jusuf Kalla seketika menelfon SBY mengucapkan selamat atas kemenangan SBY.

Dalam pemilu presiden 2014 dan 2019, Capres Prabowo dikalahkan Capres Jokowi. Namun Capres Prabowo malah sujud syukur, mengklaim dan merayakan kemenangannya. Pada kedua pilpres itu, ketika KPU resmi umumkan Jokowi menang, Capres Prabowo dan tim mengklaim pemilu curang.

Apa yang membedakan capres Jusuf Kalla dan capres Prabowo dalam merespon kekalahan? Apa efek perbedaan respon mereka terhadap situasi politik tanah air?

Kuktur politik elit yang berpengaruh dalam sebuah negara sangatlah penting. Apalagi untuk negara yang sistem dan tatanannya masih goyah. Kultur politik elit yang berbeda menyebabkan kondisi ruang publik yang berbeda pula.

Hingga hari ini, publik dan sejarah Amerika Serikat merasa beruntung memiliki George Washington. Ia salah satu the founding fathers berdirinya Amerika Serikat, dan tradisi kultur politik demokrasi di sana.

Di tahun itu, 1789, belum pernah ada dalam sejarah dunia sebuah jabatan yang disebut presiden. Abad 18 adalah era para raja dengan kerajaannya.

Tapi George Washington menolak dirinya menjadi raja. Ia juga menolak Amerika Serikat didirikan sebagai kerajaan. Ia ingin negara itu dikembangkan sebagai republik. Pemimpin republik harus dipilih, dengan masa jabatan yang dibatasi.

Baca Juga :  Bupati Pangandaran: Relawan Jokowi Makruf Bawa 60 Dokter Spesialis

George Washington pun terpilih menjadi presiden pertama tak hanya di Amerika Serikat. Ia juga presiden pertama di dunia. George Washington juga terpilih kembali kedua kalinya.

Ketika akan dipilih ketiga kali, George Washington menolak. Ia ingin kekuasaan juga ditampuk oleh orang lain.

Hingga kini, sejarah menulis George Washington sebagai satu dari tiga presiden terbesar Amerika Serikat. Yang acap diagungkan padanya adalah kultur politik yang ia kembangkan.

Saat itu ia mampu menjadi raja. Ketika itu ia mampu untuk dipilih sebagai presiden berkali-kali. Tapi Ia menolak.

Ia memilih membangun tradisi politik yang lebih demokratis. Betapa agung karakter manusia ini. Betapa budaya demokrasi berhutang budi padanya.

Publik Amerika Serikat juga menghormati capres John McCain untuk alasan yang berbeda. Di tahun 2008, John McCain menjadi capres partai Republik. Tapi Ia dikalahkan oleh Obama.

Ketika ia berkampanye keliling Amerika Serikat, dalam satu momen, pendukungnya berbicara buruk soal Obama. Ujar pendukung, “Saya tak percaya Obama. Ia bukan, hm.. Ia seorang Arab.”

McCain merebut microphone dari wanita itu dan berkata. “Mam, Obama orang baik dan ia kepala keluarga yang bertanggung jawab. Saya berbeda dengannya hanya untuk beberapa kebijakan fundamental. Itulah inti kampanye kita. Obama bukan orang Arab. Terima kasih.”

Baca Juga :  Djoko Santoso: Indonesia Saat Ini Dalam Penjajahan Modern

McCain tak ingin mengambil keuntungan politik dari sentimen negatif atas lawan politik. Baginya, Pilpres tak hanya soal menang dan kalah. Ada yang lebih besar. Pilpres harus menjadi momen yang memperkuat kultur politik positif, yang demokratis, yang bermartabat.

McCain dikalahkan dalam pilpres itu. Tapi kultur politik yang ia kembangkan bahkan menjadi legenda.

Kultur politik bagaimanakah yang ingin diajarkan Prabowo pada negeri Indonesia? Apakah ada gagasan besar dibalik sikapnya yang tak hanya menolak mengakui hasil KPU bahwa ia kalah? Sebelumnya, ia bahkan mengklaim menang berdasarkan hitungan timnya sendiri.

Tim pendukungnya bahkan sempat berkata akan memunculkan aksi protes people power karena merasa dicurangi. Amien Rais yang merupakan Dewan Pembina BPN, tim pemenangan Prabowo, bahkan awalnya menolak menggunakan jalur Mahkamah Konstitusi untuk memproses tuduhan kecurangan.

KPU sudah mengumumkan hasil resmi 2019. Jokowi yang menang. Prabowo menolak mengakui. Hal yang positif Prabowo akhirnya menggugat hasil KPU kepada Mahkamah Konstitusi.

Tapi aksi protes hasil KPU meluas di kalangan pendukung Prabowo. Aksi protes itu tak hanya ekspresi warga yang damai. Masuk pula penumpang gelap dengan agenda politik kerusuhan. Polisi sedang mendalami siapa dibalik aksi kerusuhan itu.

Asrama polisi diserang. Banyak mobil dibakar. Ada bom molotov. Ada senjata tajam. Ada banyak batu untuk dilempar dalam mobil ambulan. Ada handphone yang disita.

Baca Juga :  Titik Balik Pilpres 2019 dan Satu pelajaran! Sebuah Opini Denny JA

Diketahui massa perusuh yang menolak hasil KPU datang dari wilayah lain. Mereka diberi dana. Dari komunikasi handphone, bahkan mereka diperintahkan pihak lain untuk ini dan itu. Jelas mereka bukan aksi spontan.

Kini polisi menahan 257 orang. Mereka sudah menjadi tersangka. Pola gerakan semakin terbaca. Kerusuhan akan mereka ciptakan.

Jokowi sudah benar dalam pernyataannya. Ujar Jokowi: “Saya membuka diri untuk berdiskusi dengan siapapun bagi kemajuan negeri. Tapi tak ada ruang bagi mereka yang ingin membuat rusuh. Tak ada ruang bagi yang melanggar hukum dan keamanan.”

Di bulan puasa, ada baiknya, semua elit merenung. Kultur politik apa yang ingin mereka wariskan untuk negeri.

Ingat satu saja. Sejarah tak pernah tidur. Sejarah merekam semua. Bedanya, ada yang ditulis dengan tinta emas. Ada yang ditulis dengan aroma kegelapan.

Loading...

Baca Juga