Depresi, Proses Hukum Wajib Tetap Berjalan. Oleh: Chandra Purna Irawan SH MH, Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI, Sekjen LBH PELITA UMAT.
Menanggapi hal tersebut diatas, saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:
PERTAMA, bahwa didalam hukum pidana terdapat alasan yang dapat menghapus kesalahan pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melanggar hukum. Dikenal dengan istilah ‘alasan pemaaf’ misalnya pelakunya tidak waras atau gila sehingga tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP: “Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”
KEDUA, bahwa apabila pelaku diketahui mempunyai gangguan kejiwaan, patut dicek sejak kapan ia menderita gangguan tersebut? Apakah pelaku memang sudah dikenal sejak lama oleh keluarga, warga dan masyarakat sekitar tempat tinggal pelaku, apakah memang mengalami gangguan kejiwaan?
Tetapi apabila pelaku mengalami berupa depresi atau stress sehingga mengakibatkan pelaku tidak dapat mengendalikan emosi dan tindakannya, maka pelaku tetap wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum. Sebagai contoh seorang suami mengalami depresi atau stress karena beban pekerjaan. Kemudian emosi dan mengeluarkan perkataan “kamu saya talak 3, kembalilah kepada orang tuamu”. Maka perkataan tersebut telah memiliki implikasi hukum yaitu cerai.
KETIGA, bahwa untuk menilai seseorang benar-benar mengalami gangguan kejiwaan, diperlukan keterangan ahli kejiwaan yang dibuktikan di depan persidangan. Apabila aparat penegak hukum menjumpai peristiwa semacam ini, tetap memeriksa perkaranya.
Tidak semua jenis gangguan kejiwaan dapat membuat pelaku kejahatan lolos dari hukum dengan memanfaatkan Pasal 44 KUHP. Pasal itu menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika cacat kejiwaan atau terganggu karena penyakit yang telah diketahui secara umum oleh warga sekitar tempat tinggal pelaku dan dibuktikan dengan diagnosis kejiwaan.