Menepi dan Beristirahatlah Untuk Perjalananmu. Oleh: Tubagus Soleh, Ketum Babad Banten Pusat.
Ketika hujan datang, menepi, dan beristirahatlah sejenak sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Sahabat Pejalan pernah berpesan, “Berhentilah jika ada hujan, dan nikmati istirahat perjalananmu. Bersyukurlah, kenapa Tuhan memilihmu menjadi penempuh perjalanan kepadaNYA. Meskipun kamu kadang bertanya-tanya, mengelak, menolak dengan berjuta alasan yang melemahkan. Berhentilah untuk beristirahat. Itu arti hujan datang membawa kabar padamu.”
Maksiat, sapa penghalang jalanmu akan menyapa. Ya, cara itu yang menjadi arena pelemahan dia yang tidak menghendakimu sampai. Semua itu adalah proses. Proses mendewasakan spiritmu untuk tegar melangkah dengan senyum menyapa Tuhanmu yang menunggu.
Siapa yang tak ingin menjadi Manusia seutuhnya? Yang akrab dengan kebahagian dan kesempurnaan?. Pastinya akan melewati jalan terjal yang siap ‘melumpuhkan semangat’. Oleh karena, pesaingmu tak akan rela engkau mencapai hal itu.
Tidak perduli siapa dia. Apakah dari keturunan ningrat atau dari keturunan rakyat kebanyakan. Mau ahli ibadah atau yang masih enggan menjalankanya, semua tak akan luput dari hasutan dia. Ya, dia. Yang mengalir dalam darahmu.
Apakah itu merupakan penggemblengan yang harus dilewati? Ah, tidak. Satu penggemblengan terlampau keras dan beresiko hingga dinyatakan lulus.
Kita ini hanya pejalan, ya, pejalan faqir sebagai Insan Kamil. Yang berharap bisa menjadi manusia sempurna dengan menjadi hamba yang ridhi dan ikhlas.
Menjadi Manusia Sempurna merupakan Idaman bagi orang orang yang berakal. Menjadi manusia sempurna impian bagi orang orang yang beriman. Bahkan menjadi cita-cita yang terus digelorakan dalam segenap ikhtiar, agar diri benar- benar menjadi manusia yang sejatine.
Tapi tidak, kita adalah pejalan. Cukup jalan yang kita lalui terbuka. Dan disana, kita tak terlampau lama menunggu, untuk diizinkan menghadap wajah Hyang Mulia.
Aku teringat tutur teman pejalan yang menghanturku, Untuk menduduki dan mendapatkan gelar alfaqir harus melangkah ‘istiqomah’. Alfaqir ketiadaan yang ada, keadaan yang tiada. Hatinya terampas, pikirannya tertawan, langkahnya pelan, meniti jejak-jejak sang pencari, yang perlahan hilang tersapu semilir.
Alfaqir orang yang lalai menderetkan gelar keturunan, alpa mengalungkan gelar kebangsawanan, apalagi sekedar gelar gagah-gagahan.
Masih kata teman pejalanku, alfaqir adalah penyusur jalan setapak, berbekal tawakal, tidak mampu mengelak, tak memiliki kuasa menolak sedikitpun. Terlebih terhadap ketentuan Sang Pemilik Hati. Hingga tiada lagi batas musibah, bahagia, sedih, tertawa. Dia hanya melangkahkan kaki kepadaNYA, menerima segala karuniahNya, meratapi ketidakmampuan mensyukuriNya.
Alasan apalagi untuk tidak bahagia? Jika kefaqiran adalah menempuh perjalanan. Maka, kita sudah memasuki gerbang Inna Lillahi.
” Hari ini saat ini alfaqir bahagia, Hari ini saat ini alfaqir tenang. Alfaqir merdeka dari rasa takut, cemas, gelisah dan amarah.
Alfaqir bersyukur kepadaNYA, atas segala karunia pemberiannya “