Agrarisku Meringis
Oleh: N. Suci Megah Hati, S.Pd (Ibu Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif)
Food Sustainability Index meriset, pertanian Indonesia masuk peringkat 25 besar pada tahun 2017. Bahkan untuk sustainable agriculture, Indonesia bercokol di rangking 16 (skor 53,87) setelah Argentina serta mengalahkan Cina, Ethiopia, Amerika Serikat, Nigeria, Arab Saudi, Afrika Selatan, Mesir, Uni Emirat Arab, dan India. Indonesia mendapat skor tinggi pada ketersediaan sumber daya air yang melimpah, rendahnya dampak lingkungan sektor pertanian pada lahan, keanekaragaman hayati lingkungan dan produktivitas lahan, serta mitigasi perubahan iklim.
(bbsdlp.litbang.pertanian.go.id)
Dengan hasil riset di atas, tentunya bukan hanya swasembada pangan yang akan bisa dicapai tetapi juga Indonesia sangat mampu mencukupi ketersediaan pangan dalam negeri. Sayangnya, fakta saat ini berbicara sebaliknya. Sejak tahun 2000, Indonesia sempat ketergantungan pada beras impor bahkan tahun ini di prediksi 2 juta ton beras. Begitu pun dengan garam, bawang putih, bawang bombai, dan gula.
Dilansir oleh detikfinance, bahwa kebijakan ini diambil karena menghindari kelangkaan persediaan bahan pangan dalam negeri yang masih belum mampu memenuhi jumlah optimal ketersediaan pangan. Ditambah lagi, dinyatakan impor ini dilakukan BUMN bukan swasta. (detikfinance, 18/3/20)
Meskipun demikian, selayaknya tetap harus dilakukan evaluasi besar, apa yang membuat negara agraris penghasil pangan ini justru harus melakukan impor pangan. Sampai kapan ketergantungan akan impor ini akan berakhir?
Pergeseran fokus optimalisasi ketersediaan pangan Indonesia dimungkinkan karena perekonomian berpaling pada aktivitas industrialisasi. Dari properti hingga fasilitas transportasi untuk industrialisasi terbuka kran sangat besar untuk investor pada sektor industri. Bahkan menyumbang sekitar 30 persen untuk devisa negara.
Perhatian yang terlalu besar pada industrialisasi, membuat beberapa perubahan pada sektor pangan Indonesia. Beberapa hal yang bisa kita sorot adalah dari sisi urbanisasi. Pergerakan populasi manusia dari desa ke kota menyebabkan lahan-lahan yang masih produktif terbengkalai dari pemberdayaannya. Manusia urban berharap mampu memperbaiki keadaan ekonominya dengan masuk ke dalam pusaran industrialisasi.
Kepala Penelitian Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan semakin berkurangnya jumlah petani yang memilih merantau mencari pekerjaan berbeda mempengaruhi tinggi rendahnya produksi komoditas pangan. Berdasarkan catatan CIPS, pada 2014 sebanyak 54,8 juta orang bekerja di sektor pertanian. Jumlah ini sama dengan 34% dari total jumlah pekerja di Indonesia. Namun 34,3 juta di antaranya tergolong miskin atau rentan. (bisnis.com, 20/6/20)
Kondisi ini membuat target swasembada pangan semakin tidak realistis. Sulitnya bibit, mahalnya modal menanam, distribusi panjang yang harus dilalui hingga menurunnya harga jual di pasaran membuat semakin kronisnya masalah ketahanan pangan Indonesia.
Kondisi ini juga diperburuk dengan berpindah fungsinya lahan pertanian menjadi lahan industri. Sejak saat itulah, Indonesia hampir selalu tergantung pada impor ketersediaan pangan. Dengan dalih, kurangnya pasokan dalam negeri.
Selain urbanisasi, investasi dibidang ketahanan pangan sangat kecil dibandingkan industrialisasi. Investasi ketahanan pangan tak dialokasikan untuk peningkatan produksi dan distribusi optimal dalam negeri. Investasinya justru diarahkan pada manufaktur dan industri pengolahan pangan semata.
Industrialisasi yang tak mampu dikendalikan dengan baik, sejatinya hanya akan memunculkan masalah penurunan sektor pangan, kerusakan lingkungan, kesenjangan sosial yang tinggi yaitu kemiskinan, kurang gizi bahkan kriminalitas.
Jika merujuk pada negara dengan ketahanan pangan yang kokoh, tentu saja harus dilihat dari beberapa sisi. Mengutip dari sistem ekonomi Islam, karya An-Nabhani, dijelaskan bahwa negara dengan ketahanan pangan yang kokoh harus ditopang dengan sistem ekonomi negara yang kuat. Negara mampu menjalankan seluruh sektor-sektor ekonominya dengan baik. Hubungan perdagangan dengan negara-negara lain juga harus menguntungkan dalam negeri.
Dalam hal pertanian, negara harus mampu menetapkan hukum seputar tanah, memperhatikan kepemilikan lahan, pemanfaatan lahan, pendampingan terhadap petani dan pertanian sekaligus pendistribusiannya.
Penetapan tanah pertanian yang subur bisa ditanami dan menghasilkan sangat urgensi dilakukan sebuah negara yang menginginkan ketahanan pangan yang kokoh. Jika terdapat lahan subur di wilayah-wilayah dalam sebuah negara, negara tak boleh mengubahnya untuk lahan industri. Jika lahan itu dimiliki individu rakyat tetapi tak ada kemampuan bagi dirinya mengolah lahan, hingga terbengkalai hingga tiga tahun atau lebih, negara bisa mengambilnya sebagai milik negara dan menyerahkannya pada orang yang mampu mengolahnya.
Jika lahan tersebut mampu dikelola dengan baik oleh individu lain, tetapi tak mampu mengadakan bibit karena tak memiliki modal atau alat pengairan yang mahal, maka negara akan memberikan modal tanpa kompensasi. Selama pengelolaan berjalan dengan baik, tak ada pelalaian pada lahan, selama itu pula seseorang berhak mengolah lahan.
Selanjutnya, negara harus menjamin hasil pertanian yang dipanen akan langsung dapat terdistribusi optimal dengan harga yang terjaga. Oleh karena itu, transportasi atau fasilitas lain yang mendukung optimalisasi hasil pertanian sampai pendistribusiannya dibebankan sepenuhnya kepada negara. Hasil pertanian ini, tak akan diekspor ke negara lain selama ketersediaan pangan dalam negeri tak mencukupi. Di sinilah diperlukan konsistensi hubungan perdagangan luar negeri yang kokoh, tak akan merugikan bahkan membahayakan negara.
Terutama negara wajib menjamin ekonomi rakyat yang paripurna. Kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan tercukupi per kepala. Kebutuhan umum lainnya juga mudah didapat seperti kesehatan, keamanan, pendidikan dan sektor lainnya harus terjamin. Penyerapan tenaga kerja sesuai keahlian optimal terserap di dalam negeri. Hal ini tentu saja akan mengukuhkan aktivitas ekonomi dalam negeri, otomatis ketergantungan dengan negara lain akan berkurang bahkan menjadi negara mandiri dan berdaulat.
Negara-negara dunia saat ini, dengan penerapan ekonomi kapitalisme globalnya, bahkan di masa pandemi saat ini, belum ada yang mampu melaksanakan standar ini dengan baik. Satu-satunya yang mampu adalah institusi yang didirikan pertama kali di Madinah oleh Muhammad saw dan dilanjutkan para Khalifah setelah beliau dengan sangat gemilang dan terbukti kokoh meski pandemi mendera. Institusi itu tak lain adalah khilafah Islamiyah, yang mampu memberi kesejahteraan selama 1400 tahun.
Wallahu ‘alam bishshawab