oleh

Ilusi Keadilan Dalam Negara Demokrasi. Opini Lailla Rahmadani

Ilusi Keadilan Dalam Negara Demokrasi. Oleh: Lailla Rahmadani, Aktivis Muslimah Papua.

Setelah 3 tahun 2 bulan menanti perkembangan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Meski alot lagi njlimet akhirnya babak akhir kasus ini mulai terlihat. Pelaku telah ditangkap dan diproses secara hukum. Tapi apa mau dikata sejak awal seolah memang kasus ini hanya sekedar menjadi “guyon” penegakan hukum di Indonesia.

Namun perjalanan drama panjang mencari keadilan bagi Novel Baswedan yang selama ini terkenal sebagai penyidik senior KPK dan menangani kasus-kasus besar dugaan korupsi. Dinilai tak sebanding dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pasalnya, terdakwa hanya dituntut 1 tahun penjara. Padahal akibat serangan subuh oleh dua terdakwa, Ia harus kehilangan salah satu mata kirinya.

Lucunya, tuntutan hukuman ringan bagi terdakwa tersebut disampaikan oleh JPU. JPU beralasan terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke wajah korban. Wajar jika kemudian tagar hastag #GakSengaja menjadi tranding topik di Twitter sebagai reaksi kekecewaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia.

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) pun menyatakan sikap bersama bahwa proses hukum kasus penyiraman air keras ke Novel Baswedan minus keadilan bagi korban, surplus kepentingan pelaku dan mengancam pemberantasan korupsi ke depannya.(Monitor.co.id, 13/6/2020)

Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana mengatakan, tuntutan 1 tahun terhadap Novel akhirnya terkonfirmasi adanya sandiwara hukum yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat. Oleh karena itu tuntutan 1 tahun terhadap dua terdakwa penyiram Novel, tidak hanya sangat rendah, tetapi juga memalukan serta tidak berpihak pada korban kejahatan. Alih-alih dapat mengungkapkan fakta sebenarnya, justru penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elit mafia korupsi dan kekerasan.(HarianTerbit.com, 15/6/2020)

Baca Juga :  Hilda Basalamah Kecewa Datangi Acara Ijtima Ulama IV

Novel Baswedan sebagai korban, melihat kejanggalan dalam kasus yang dialaminya pun mengaku tidak yakin bahwa kedua oknum anggota kepolisian tersebut, Ronny dan Rahmat, adalah pelaku sesungguhnya dalam kasusnya. Saking kecewanya atas proses hukum tersebut, sepupu Anies Baswedan ini mengusulkan agar kedua terdakwa kasus penganiayaan dibebaskan dari vonis daripada memanipulasi kasusnya.(Monitor.co.id, 13/6/2020)

Apalagi jika sandingkan dengan kasus yang sama, misalnya penyiraman air keras yang dilakukan Heriyanto kepada istrinya pada 12 Juli 2019. Jaksa kemudian menuntut Heriyanto dengan pidana penjara selama 20 tahun (CNNIndonesia.com). LBH Jakarta mencatat beberapa kasus penyiraman air keras di Indonesia yang pelakunya mendapat hukuman antara 8-20 tahun penjara (AyoBandung.com). Tentu saja hal ini membuat masyarakat yang mengikuti perkembangan kasus penyiraman air keras pada Novel tak habis pikir, bagaimana bisa kasus besar (high profile) yang para terdakwanya merupakan anggota polisi aktif, hanya dituntut 1 tahun penjara?

Demikianlah gambaran buruknya hukum di negeri ini. Demokrasi yang dijunjung tinggi ternyata tidak bisa mewujudkan keadilan. Pasalnya demokrasi yang diterapkan saat sini sejatinya adalah anak dari ideologi Kapitalisme. Demokrasi memandang bahwa manusia berhak membuat hukum. Padahal manusia bersifat terbatas, lemah, dan serba kurang. Jelas aturan buatan manusia tidak bisa dijadikan standar nilai sebab sangat mudah untuk berubah-ubah mengikuti hawa nafsu dan kepentingan.

Berikutnya terkait para penegak keadilan. Karena demokrasi seiring sejalan dengan akidah sekularisme yang melahirkan sistem kapitalisme, maka peraturan yang dibuat pun dipisahkan dari aturan agama. Campur tangan Sang Pencipta dalam kehidupan disingkirkan. Penguasa berikut jajaran pejabat penegak keadilan bebas memilah dan memilih peraturan, mana yang menguntungkan. Sehingga terealisasinya keadilan secara sempurna hanyalah ilusi dalam negara demokrasi.

Baca Juga :  Jangan Ciderai Demokrasi Kita, Sebuah Opini Tubagus Soleh

Sejatinya keadilan hanya akan terwujud jika hukum yang diberlakukan adalah aturan yang berasal dari Sang Maha Adil, Allah subhanahu wata’ala. Islam adalah agama yang sempurna. Islam memuat seluruh aturan kehidupan. Dalam Islam, setiap perkara wajib diputuskan berdasarkan hukum yang Allah tetapkan. Karena Allah adalah al-Kholiq al-Mudabbir, Maha Pencipta dan Pengatur. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang paling baik untuk ciptaan-Nya. Hukum Allah adalah hukum tertinggi dan terbaik tiada tandingan. Hal ini seperti yang diterangkan Allah dalam kalam-Nya surah Al-Ma’idah ayat 50 : “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Terbukti dengan diberlakukannya aturan/hukum Islam secara kaffah (totalitas) selama kurang lebih 13 abad, mampu mewujudkan hukum yang adil, komprehensif, tegas dan tidakk bisa berubah menurut tempat dan waktu. Hukum yang tak mudah mengikuti hawa nafsu manusia, hukum yang memiliki standar yang stabil tak berubah-ubah karena kepentingan semata.

Dalam Islam, kejahatan (al-jarimah) merupakan sebuah pelanggaran terhadap syariat Islam yang mengatur interaksi manusia dengan dirinya sendiri, dan orang lain. Seandainya manusia melanggar hukum-hukum tersebut maka berarti ia telah berbuat cela (al-qabih), dengan demikian ia telah berbuat kejahatan. Maka Islam mengatur dalam hukum persanksian terhadap tindak kejahatan hingga seseorang dapat menjalankan segala hal yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Baca Juga :  Ambil Talqin Dzikir, dan Corona Pun Tumbang. Opini Tubagus Arya Soleh

Negara adalah pelaksana sanksi tersebut. Sanksi yang dijatuhkan di dunia kepada pelaku kejahatan akan mengakibatkan gugurnya siksa di akhirat. Itulah alasan mengapa sanksi-sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir).

Sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan tersebut akan berfungsi untuk mencegah orang-orang untuk melakukan tindakan kejahatan, dosa, dan kriminal serupa. Karena sanksi yang dijatuhkan menjerakan bagi pelaku dan akan disaksikan oleh seluruh masyarakat. Kemudian sanksi dalam Islam juga akan menjadi penebus dosa yang akan menggugurkan sanksi di akhirat.

Kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan, di dalam Islam dikategorikan ke dalam sanksi jinayat. Pelakunya telah meninggalkan kecacatan anggota badan korban, yakni mata sebelah kiri. Maka, jika melenyapkan anggota tubuh yang berjumlah sepasang, hukuman yang berlaku adalah qishas. Darah dibayar dengan darah. Mata dibayar mata.

Namun apabila keluarga telah memaafkannya maka diyatnya adalah setengah diyat sempurna. Apabila memakai acuan emas. Jika korban kehilangan satu matanya, maka pelaku harus membayar sebesar 500 dinar emas, jika 1 dinar sama dengan Rp. 3.750.000, maka sedikitnya pelaku membayar Rp. 1.875.000.000.

Inilah sangsi berat yang akan didapatkan pelaku kejahatan dalam Islam. Sangsi yang mampu memberikan efek jera sehingga mampu meminimalisir kriminalitas di tengah masyarakat. Keadilan pun akan dirasakan oleh korban maupun kelurganya. Kesempurnaan sistem sanksi di dalam Islam jelas sangat adil dan manusiawi bagi tersangka maupun korban.

Sungguh sangat berbeda dengan saat ini, ketika kita masih bernaung di bawah sistem pemerintahan demokrasi. Keadilan hanyalah ilusi yang tak pernah bisa diwujudkan.

Loading...

Baca Juga