Nyawa Melayang, Akibat Komersialisasi? Cahya Wulan Ningsih, Siswi SMP HSG Khoiru Ummah Samarinda
Dilansir dari Kompas.com, Uji tes Covid-19 baik melalui rapid maupun swab test dituding telah “dikomersialisasikan”. Tingginya biaya tes disebut telah menelan korban di masyarakat. Seorang ibu di Makassar, Sulawesi Selatan, dilaporkan kehilangan anak di dalam kandungannya setelah tidak mampu membayar biaya swab test sebesar Rp 2,4 juta. Padahal, kondisinya saat itu membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan. Pengamat kebijakan publik mendorong pemerintah untuk menggratiskan biaya tes virus corona.
Ervina Yana, kehilangan bayinya sesaat akan dilahirkan. Ia mengalami keterlambatan pengambilan tindakan karena melalui proses pemeriksaan COVID-19. Awalnya, ia telah pergi ke salah satu Rumah Sakit swasta. Namun ia ditolak dengan alasan RS tidak memiliki alat operasi persalinan lengkap dan alat tes COVID-19, lalu ia pergi ke RS lain yang akhirnya berujung penolakan kedua, dengan alasan yang hampir sama.
Kemudian dirumah sakit ketiga ia melakukan rapid test dengan membayar uang sejumlah Rp 600.000. Hasilnya, reaktif dan disarankan untuk mengikuti swab test dengan biaya sekitar Rp 2.400.000,00-. Namun keluarga pasien yang tidak mempuanyai biaya untuk menjalankan swab test membawanya ke RS lain. Hingga di RS yang keempat itu, akhirnya. Dokter menyatakan bahwa sejak kurang lebih dari 20 jam yang lalu, bayi telah berhenti bergerak, dengan kata lain sudah meninggal dunia. (kompas.com)
Berbagai pihak, seperti Yayasan Konsumem Lembaga Indonesia (YKLI) dan Asosiasi RS menganggap Komersialisasi terjadi akibat pemerintah belum menetapkan HET yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Komersialisasi sendiri terjadi bukan karena pihak RS ingin melakukan aji mumpung dalam tes COVID-19. Menurut Ketua umum ARSSI, Susi Setiawaty, komersialisasi terjadi akibat rumah sakit memerlukan dana untuk pembelian alat tes COVID-19 sendiri dan membayar tenaga medis yang terlibat.
Sekali lagi, pemerintah seolah lalai dalam tanggung jawabnya, mengakibatkan nyawa manusia seperti tak ada artinya.
Kegagalan kapitalisme (yang kini lebih dominan diterapkan didunia) terpampang jelas di depan mata. Sistem kesehatan ala kapitalis ini menyebabkan komersialisasi baik saat pandemi maupun tidak, sudah pasti sangat membebani rakyat. Mahalnya biaya pelayanan kesehatan berujung pada banyaknya korban jiwa.
Terlihat secara nyata bahwa standar kapitalis amat sangat dominan dalam menilai dan menempatkan negara sebagai regulator, bukan penanggung jawab (raa’in). Padahal Negara ada untuk mengayomi rakyatnya, bukan sebaliknya.
Lalu, bagaimana Islam memandang hal ini?
Islam adalah agama Rahmatan lil ‘alamin yang didalamnya terdapat berbagai solusi untuk penyelesaian masalah umat.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,“Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin. Jadi, penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam islam, negara tidak pantas membebankan rakyatnya untuk membayar pelayanan kesehatan. Karena kesehatan merupakan kebutuhan mendasar rakyat yang wajib ditanggung negara. Negara dalam pandangan Islam wajib menyediakan sarana – prasarana yang memadai dan berkualitas bagi seluruh rakyatnya, tanpa diskriminasi. Semua warga negara (tanpa memandang mampu atau tidak mampu, maupun muslim atau non muslim), berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dari negara tanpa dipungut biaya apapun.
Anas ra. menuturkan bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara lalu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh. (HR. Bukhari dan Muslim)
Contoh lainnya, seperti, Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak, sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit, tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata, bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”
Kemudian, pertanyaan selanjutnya darimana sumber dana dalam sistem Islam sehingga mampu memenuhi kebutuhan di sektor kesehatan masyarakatnya? Sumber dana diperoleh melalui Baitul mal yang tujuan keberadaan nya sendiri memang untuk kemaslahatan umat. Sumber dana tersebut berasal dari dana yang ada di Baitul mal. Pemasukan baitul mal sendiri didapatkan melalui fa’i (upeti), zakat, jizyah (iuran yang didapatkan melalui kafir dzimmi, bahkan jika ia tidak mampu membayar maka tidak diwajibkan), atau didapatkan dari sumber lain seperti tanah tak berpenghuni, warisan yang tidak mempunyai ahli waris dan lain-lain.
Namun, untuk penyelenggaraan kesehatan sendiri biasanya negara dalam sistem Islam menggunakan dana yang berasal dari hasil pengolalaan kepemililan umum, seperti sumber daya alam, barang tambang, dan sejenisnya.
Hal ini membuktikan, bahwa negara yang berlandaskan Islam tidak menuntut warga negaranya untuk mengeluarkan biaya demi mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.
Bukankah ini yang kita inginkan saat ini?
Tenaga kesehatan yang mumpuni, sarana dan prasarana yang memadai, pelayanan kesehatan yang berkualitas tanpa dipungut biaya. Semua ditanggung negara. Tanpa menghitung untung-rugi yang menyebabkan hilangnya nyawa, seperti yang dilakukan sistem kapitalis.
Namun hal yang kita inginkan itu hanya bisa didapatkan dengan penerapan syari’at Islam secara kaffah. Maka sudah saatnya untuk Kembali kepada hukum yang berasal dari Allah, Tuhan semesta alam dalam bingkai negara Khilafah. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb