oleh

Penyebaran Corona Melonjak Karena Keputusan New Normal Yang Tidak Bijak

Penyebaran Corona Melonjak Karena Keputusan New Normal Yang Tidak Bijak. Oleh: Misbah Munthe S.Pd, Pemerhati Kebijakan Publik.

Hingga kemarin, lonjakan kasus penyebaran virus Corona di Indonesia masih menduduki tingkat puncak. Berdasarkan laporan data pada akun twitter @BNPB_Indonesia, Rabu (24/06/2020) sore, tercatat ada 1.113 kasus baru. Sehingga total kasus virus corona di Indonesia menjadi 49.009 orang. Dengan rincian, total pasien sembuh yakni 19.658 orang dan pasien positif corona meninggal 2.573 orang (ternate.tribunnews.com)

Fakta membumbungnya penyebaran virus Corona hari demi hari menjadi bukti atas prediksi pakar kesehatan di negara ini yang menganggap bahwa kebijakan pemerintah untuk menerapkan new normal demi pemulihan ekonomi adalah kebijakan yang tidak tepat. Sebagaimana dilansir dari okezone.com, Dewan Pakar Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, mengaku tidak sepakat jika kebijakan the new normal dilaksanakan. Sebab Indonesia belum mencapai puncak pandemi virus corona (covid19).

Lebih dari itu Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) ini menuturkan sikap gegabah pemerintah dalam membuka kembali sembilan sektor ekonomi dan penerapan AKB menimbulkan persepsi yang keliru di tengah masyarakat ihwal pencegahan penyebaran transmisi lokal virus corona.
Hermawan berpendapat sejumlah masyarakat pada akhirnya menganggap langkah itu menunjukkan kondisi yang sudah kembali normal seperti sebelum adanya pandemi Covid-19.

“Inilah risiko pembukaan sektor-sektor tersebut, kita sekarang mengalami kenaikan kasus secara konsisten di atas 1.000 per hari.

Lonjakan ini terjadi di berbagai wilayah seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah yang cukup signifikan,” kata Hermawan melalui pesan suara kepada Bisnis.com, Jakarta, pada Minggu (21/6/2020).

Selain itu, Epidemiologi sekaligus Guru Besar Universitas Andalas, Prof Ridwan Amiruddin, mengatakan new normal ini ibarat oase yang ditawarkan pemerintah. Terlalu dini dan terkesan dipaksakan untuk diberlakukan. Padahal ada syarat yang harus dipenuhi apabila masuk ke new normal tersebut, yaitu covid19 sudah terkendali. Namun Faktanya itu belum terjadi di Indonesia. Dalam diskusi secara daring dengan topik “ Pasca PSBB dan kehidupan Normal Baru” Ridwan menambahkan “ kurva kita belum melandai. Kita terlalu cepat masuk ke new normal, sementara di beberapa provinsi masih dalam pertumbuhan kasus.” (Beritasatu-com, 28/05/2020)

Baca Juga :  Kasus Corona Meningkat, Apa Ini New Normal? Opini Yuyu Yunengsih

Sementara itu, Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dr. Iwan Ariawan menyampaikan, dengan jumlah kasus yang masih terbilang tinggi maka penerapan new normal beresiko tinggi terhadap makin masifnya penyebaran virus corona. Hal tersebut dikatakan Iwan dalam diskusi virtual yang diadakan oleh Para Syndicate, Minggu (21/6). “Seharusnya, mengacu persyaratan WHO, kalau kondisi jumlah kasus tidak naik selama dua minggu baru bisa dilonggarkan bahkan ada beberapa negara yang menetapkan pelonggaran dilakukan kalau sudah menurun selama satu bulan. Jadi sekarang kondisi di Indonesia belum aman untuk keluar dan bergerak, risikonya masih tinggi,” katanya. (cnnindonesia.com, 22/06/2020)

Seperti biasa, pemerintah memang tak hendak mendengar dan mempertimbangkan pendapat para pakar dan praktisi kesehatan dalam menangani pandemi mematikan ini. Pun, diawal kemunculan virus para pemangku kebijakan seolah menutup telinga dari pernyataan-pernyataan yang dilontarkan ahli kesehatan dan epidemiologi. Sehingga hasil yang kita “panen” adalah melonjaknya kasus demi kasus penyebaran covid19. Siapa yang dirugikan akibat sikap pemerintah yang menutup telinga? Tentunya masyarakat!

Seperti yang kita lihat, Korban masih terus berjatuhan, kurva penyebaran virus pun belum melandai namun pemerintah sudah beralih kebijakan demi pulihnya ekonomi. Yang semula PSBB setengah hati diterapkan beralih pada penetapan new normal yang akhirnya lebih menyengsarakan dan mengkhawatirkan. Terbukti, hingga saat ini daerah-daerah di Indonesia mencatat lonjakan kasus poisitif virus corona yang terus meninggi. Bahkan diprediksi Indonesia bisa menjadi titik hotspot baru dalam penyebaran`virus covid19 se ASEAN.

Lain masalah lain pula langkah yang diambil pemerintah. Sebut saja, ajang perlombaan inovasi new normal yang digencarkan oleh Tito Karnavian selaku Menteri Dalam Negeri. Demi ajang perlombaan ini Mendagri rela menggelontorkan dana sebesar 168 milyar rupiah. Padahal jumlah yang sangat fantastis tersebut bisa dialihkan pada penanganan wabah Corona yang semakin massif. Sebuah langkah pemborosan dana ditengah ekonomi Indonesia yang “katanya” harus segera berbenah.

Baca Juga :  Sense of Crisis VS Multidimensional Crisis Adalah Buah Sistem Kapitalis

Tidak dapat disangkal bahwa, hadirnya partikel renik berdiameter 50–200 nanometer bernama covid19 itu sanggup mengguncang perekonomian dunia dan meruntuhkan kesombongan negara adikuasa, USA dan China. Dengan tertatih-tatih setiap negara saat ini berusaha memulihkan kembali perekonomian bangsa. Bahkan ada yang sampai menggadaikan nyawa rakyatnya demi persaingan antar negara ditengah wabah.

Hal ini tentu sangat berbeda sekali dengan gambaran pemerintahan dalam Islam tatkala menangani wabah. Katakanlah Umar bin Khattab, khalifah kedua yang diberi gelar amirul mukminin tersebut pernah diuji musibah di masa kepemimpinannya. Tidak hanya satu, bahkan umat islam saat itu diuji oleh dua musibah. Musibah pertama adalah kekeringan yang melanda Madinah dan musibah yang kedua adalah wabah Tha’un amwas yang menyerang wilayah Syam. Wabah ini dikabarkan telah menghantarkan kematian tidak kurang dari 30 ribu rakyat. Bukan saja warga negara biasa, bahkan penyakit ini pun menyerang beberapa sahabat Khalifah Umar seperti Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal, dan Suhail bin Amr yang mengantarkan pada wafatnya mereka.

Meskipun ditimpa dua bencana besar, namun Umar bin Khattab tak hilang kendali. Karakter kepemimpinannya yang lahir dari Islam itupun tetap terpancar hingga beliau bersegara menyusun strategi demi mengentaskan persoalan wabah tanpa menggadaikan keselamatan ummat. Tentu saja dengan panduan yang di wariskan oleh Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW telah mewariskan sistem pemerintahan yang independen kepada ummat nya. Yaitu sistem pemerintahan Islam yang didalamnya diatur segala urusan. Tidak ada campur tangan asing dalam pengelolaan negara yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sebab Islam memang mengajarkan yang demikian. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa :141 Allah SWT berfirman :
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.”

Dengan pedoman diatas dan hadirnya sosok pemimpin berkarakter mulia, maka tidak ada celah sedikitpun bagi negara asing untuk mendikte negara Islam. Sehingga tidak perlu mengenyampingkan kepentingan rakyat demi desakan negara asing.

Baca Juga :  Genosida Srebrenica, Duka Kaum Muslimin Seluruh Dunia

Dalam mengambil kebijakan Umar bin Khattab tidak mengandalkan kemampuan manusiawinya semata tetapi bersegera menyandarkan setiap keputusan yang diambilnya pada apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul Nya.

Suatu ketika, Umar membatalkan perjalanan (dinas) resminya dari madinah menuju Syam karena tersiar kabar bahwa negeri Syam sedang dilanda wabah. Namun hal itu dikritik oleh gubernur Syam. Hingga akhirnya Abdurrahman bin Auf menegaskan bahwa keputusan yang diambil oleh Umar sudah benar dan sesuai dengan ketetapan Nabi SAW. Mendengar ucapan Abdurrahman bin Auf umar merasa gembira dan bersyukur.

Dari sini kita memahami bahwa sinergi antara negara sebagai pelaksana hukum syara’ dengan pemimpin berkepribadian mulia yang hanya memberlakukan aturan yang berasal dari Allah SWT dan masyarakat yang beramar ma’ruf nahi munkar lalu ditopang oleh ketakwaan individu adalah kunci utama kesuksesan penanggulangan wabah.

Negara hadir ditengah-tengah ummat sebagai penanggung jawab urusan mereka. Negara benar-benar menjalankan fungsinya sebagai tameng rakyat dari segala bentuk bencana atau musibah dan tidak menggantungkan urusan negaranya pada asing.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibn Umar RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang imam yang berkuasa atas masyarakat bagaikan penggembala dan dia bertanggung jawab atas gembalaannya (rakyatnya).”
“Siapa saja yang dijadikan Allah mengurusi suatu urusan kaum muslimin lalu ia tidak peduli akan kebutuhan, keperluan, dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak peduli akan kebutuhan, keperluan, dan kemiskinannya.”

Dalam keadaan apa pun keselamatan rakyat senantiasa akan menjadi pertimbangan utama negara.
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan disahihkan al-Albani).

Di bawah ri’ayah pemerintahan seperti inilah kesejahteraan dan masa depan rakyat akan terselamatkan. sekalipun didera berbagai musibah dan ujian. Mereka percaya bahwa pemimpinnya tidak akan berlepas tangan.

Pemerintahnya tidak mungkin mengorbankan nasib mereka atas dasar pertimbangan ekonomi, apalagi menukarnya demi kepentingan segelintir pengusaha.

Wallahu a’lam bisshawab

Loading...

Baca Juga