Ibu dan Anak Korban Komersialisasi Tes Corona. Oleh : Heni Kusmawati, S.Pd, Pemerhati Sosial.
Seperti tikus mati di lumbung padi. Begitulah gambaran kondisi rakyat Indonesia. Negeri yang terkenal dengan sumber daya alam yang melimpah ruah. Tetapi warga negara sendiri tak bisa menikmati hasil kekayaan negerinya. Akibatnya banyak diantara mereka yang harus meregang nyawa karena kelaparan dan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan. Seperti yang dialami oleh seorang ibu di Sulawesi Selatan yang kehilangan bayinya karena kendala biaya.
Dilansir dari bbc.com, seorang ibu hamil Ervina Yana di Makassar Sulawesi Selatan kehilangan bayi dalam kandungannya saat akan dilahirkan. Penyebabnya karena tindakan operasi kelahiran yang telat akibat dia harus menjalani pemeriksaan covid 19.
Alita Karen selaku aktivis perempuan dan juga pendamping Ervina, menuturkan bahwa Ervina memiliki riwayat penyakit diabetes melitus. Untuk melahirkan secara normal akan sangat riskan. Untuk itu, harus dilakukan operasi. Uji tes covid adalah syarat untuk melakukan operasi. Setelah ditolak oleh dua RS dengan alasan tidak ada alat operasi yang lengkap dan alat uji tes covid, dia melanjutkan ke RS swasta yang ketiga dengan melakukan rapid test, biayanya 600 ribu, setelah itu disarankan untuk melakukan swab dengan biaya 2,4 juta. Karena tidak sanggup bayar, oleh keluarga dibawa ke RS lain, namun nyawa bayi tak bisa tertolong.
Akibat kejadian ini, berbagai pengamat seperti pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menganggap terjadi komersialisasi tes corono yang dilakukan oleh pihak rumah sakit swasta.
“Banyak RS saat ini yang memanfaatkan seperti aji mumpung dengan memberikan tarif yang mahal dan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Itu akibat dari tidak ada aturan dan kontrol dari pemerintah,” kata Trubus.
Untuk itu, Trubus meminta pada pemerintah agar menggratiskan biaya tes covid agar tidak ada lagi Ervina-Ervina lainnya.
Jika pemerintah tidak mampu menggratiskan setidaknya menetapkan harga eceran tertinggi (HET). Karena menurut Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, tingginya biaya rapid tes karena pemerintah belum menetapkan HET.
Komersialisasi tes covid juga tidak hanya terjadi di RS akan tetapi dilakukan juga di bandara dan pelabuhan. Bagi calon penumpang wajib mengikuti rapid test. Tentunya hal ini membebani masyarakat karena selain ongkos yang disiapkan, biaya tes covid juga harus disiapkan. Beruntung jika calon penumpang adalah orang yang ekonominya cukup, lantas bagaimana dengan yang ekonominya rendah?
Meminta pemerintah untuk mengurus rakyat tidak akan bisa terwujud karena negara melalui pemerintah dalam sistem buatan manusia (kapitalisme) hanya sebagai regulator. Mengatur agar ada keselarasan antara kepentingan pengusaha/pemilik modal dengan kepentingan rakyat. Ketika bertentangan, maka yang dikorbankan adalah rakyat. Kita bisa melihat apa yang dialami oleh rakyat selama ini. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak pernah memihak kepada rakyat. Misalkan terkait alat-alat kesehatan dan APD yang semestinya tenaga kesehatan dalam negeri membutuhkan, malah pemerintah mengekspor keluar negeri. Lucunya lagi, APD yang diekspor malah diimpor lagi ke Indonesia. Ditambah lagi dengan iuran BPJS yang terus merangkak naik padahal kondisi tidak memungkinkan untuk membayar iuran karena lagi masa pandemi. Nah, dalam hal ini siapa yang diuntungkan? Pastinya pengusaha atau para pemilik modal.
Cukuplah apa yang dialami oleh rakyat Indonesia khususnya sebagai bukti bahwa pemerintah dalam sistem buatan manusia (kapitalisme)melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap rakyat. Padahal seharusnya rakyat harus dilayani dan diurus secara optimal oleh negara. Karena pemimpin adalah pelayan dan pengrus rakyat. Rasulullah bersabda :
“Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Pemerintah/negara adalah lembaga yang mengatur urusan rakyat secara praktis. Seluruh kebutuhan rakyat terpenuhi di dalamnya. Termasuk kebutuhan akan kesehatan. Ketika semua kebutuhan terpenuhi, tidak akan ada lagi kasus kekurangan alat kesehatan, obat-obatan, serta tidak ada penolakan pasien sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Dalil berikut ini sudah lebih dari cukup bagi penguasa/pemimpin terkait balasan dari Allah terhadap pemimpin yang tidak bertanggung jawab terhadap rakyat dan menipu rakyatnya. Rasulullah bersabda :
“Tidaklah seorang hamba yang ditetapkan oleh Allah untuk mengurus rakyat, lalu mati dalam keadaan menipu mereka, kecuali Allah akan mengharamkan dirinya masuk ke dalam surga.” (HR al-Bukhari dan Muslim dari Ma’qil bin Yasar ra.).