oleh

Komersialisasi Tes Corona Menelan Korban. Opini Syarifa Ashillah

Komersialisasi Tes Corona Menelan Korban. Oleh: Syarifa Ashillah, Pemerhati Lingkungan dan Sosial.

Seorang ibu bernama Ervina di Makassar, Sulawesi Selatan, dilaporkan kehilangan anak di dalam kandungannya penyebabnya adalah terlambatnya tindakan operasi kelahiran. Padahal kondisinya saat itu membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi. Dikarenakan sang ibu tak mampu membayar biaya swab test sebesar Rp 2,4 juta. Memang sesuai protokol yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tentang “Petunjuk Praktis Layanan Kesehatan Ibu dan Bayi baru lahir selama pandemi Covid-19 No: B-4” (05 April 2020) bahwa semua ibu hamil yang akan melahirkan wajib dilakukan pemeriksaan rapid test. Menurut pendamping Ervina dan juga aktivis perempuan, Alita Karen, pada Rabu (17/6) Ibu Ervina ditolak tiga rumah sakit karena biaya rapid dan swab testnya tidak ada yang menanggung. Sehingga di RS terakhir, anak dalam kandungannya meninggal. (BBC.com, 18/06/2020)

Memang besaran biaya untuk menguji seseorang terinfeksi virus Covid-19 atau tidak di Indonesia bervariasi di berbagai instansi. Untuk rapid tes rata-rata Rp 400 rb. Sedang untuk PCR Dilansir Kompas.com (1/6/2020), di RS Universitas Indonesia, biaya pemeriksaan tes swab termasuk PCR adalah Rp 1.675.000 sudah termasuk biaya administrasi.Di Riau, harga tes swab per orang Rp 1,7 juta. Harga tersebut merupakan tes swab mandiri di RSUD Arifin Achmad. Sementara itu di Makassar ada yang menjual tes swab seharga Rp 2,4 juta, yaitu di RS Stellamaris seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (17/6/2020).

Baca Juga :  Khilafah Solusi Problematika Kehidupan. Opini Miftakhul Khawariyin

Tidak sedikit warga menyebut harga jasa rapid test secara mandiri di rumah sakit (RS) mahal. Tarif yang dipatok pun dirasa memberatkan. Terlebih di saat new normal ini surat bebas covid-19 digunakan untuk berbagai keperluan. Misal masyarakat wajib melakukan tes mandiri jika ingin bepergian atau memasuki suatu kota di Indonesia.

Pengamat kebijakan publik dari dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyebutkan, saat ini terjadi “komersialisasi” tes virus corona yang dilakukan rumah sakit swasta akibat dari lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes ini.
“Banyak RS saat ini yang memanfaatkan seperti aji mumpung dengan memberikan tarif yang mahal dan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Itu akibat dari tidak ada aturan dan kontrol dari pemerintah,” kata Trubus.

Sungguh ironi melihat rakyat di negeri ini yang terus di timpa musibah karena kurang hadirnya pemerintah dalam pengurusan rakyat. Rakyat ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Wabah melanda, sumber pendapatan masyarakat ikut melandai. Namun pengeluaran membengkak. Misal naiknya tarif listrik, BPJS yang bakal naik dan Corona pun dijadikan alat komersialisasi. Rakyat di paksa melakukan tes berbayar dengan biaya yang tak murah. Pemerintah dinilai Kurang andil pemerintah dalam menyelesaikan dampak covid-19 salah satunya menentukan harga standar tes covid-19.

Seperti yang disamanpaikan Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, tingginya harga tes Covid-19 dikarenakan pemerintah belum menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Seharusnya pemerintah dalam hal ini Kemenkes, segera menetapkan HET rapid test. Sehingga konsumen tidak menjadi obyek pemerasan dari oknum dan lembaga kesehatan tertentu dengan mahalnya rapid test,” ujar dia.

Baca Juga :  RUU PKS Bukanlah Solusi Pencegahan Kekerasan Seksual. Opini Tawati

Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) membantah bahwa rumah sakit swasta melakukan aji mumpung dalam biaya tes rapid dan swab.

Ketua Umum ARSSI, Susi Setiawaty, menjelaskan bahwa tudingan mahalnya tes virus corona disebabkan beberapa hal seperti pihak rumah sakit harus membeli alat dan perlengkapan tes sendiri, biaya untuk membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam tes tersebut, dari dokter, petugas laboratorium, hingga petugas medis yang membaca hasil tes tersebut. Lalu ditambah pemeriksaan rontgen. Jadi price-nya berbeda-beda. Dia menambahkan jika semua di sedikan bisa saja gratis namun itu tidak mungkin, bisa bangkrut pemerintah katanya.

Di sinilah nampak Indonesia menerapkan sistem kapitalisme di mana peran negara makin dikerdilkan. Bukan lagi penanggung jawab namun hanya sebatas regulator saja. Sebagai jembatan swasta kepada rakyat. Rakyat dibiarkan memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri (kesehatan). Sedang swasta diberikan keleluasaan untuk menjalankan perekonomiannya. Negara hanya memastikan semuanya berjalan tanpa kendala. Dan menyediakan fasilitas.

Sungguh berbeda dengan sistem Islam dalam bingkai khilafah. Seorang pemimpin (khalifah) sadar betul bahwa kepemimpinan adalah amanah dan harus melekat padanya watak raa’in yaitu pengurus. Sesuai dengan hadist Rasulullah Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari). Artinya sangat pemimpin bertanggungjawab untuk mengurus rakyat. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin. Jadi, penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya.” (Bukhari dan Muslim). Dan masalah kesehatan merupakan hak dasar rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara dengan biaya yang murah bahkan gratis.

Baca Juga :  Cek Pabrik di Cianjur, Kabareskrim Minta Obat Covid-19 Segera Didistribusikan

Negara wajib menyediakan peraturan, kebijakan maupun peraturan teknis administratif. Menyediakan sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis, dan sarana prasarana kesehatan lainnya. Dan adanya sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana sistem kesehatan, yang meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya. Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak, sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit, tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata, bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”

Pengaturan yang seperti ini mustahil terlaksana dalam sistem kapitalisme yang menyerahkan kepada swasta urusan rakyat (kesehatan) apalagi sesuai dengan namanya kapitalisme hanya mementingkan keuntungan materi saja. Tak lagi menjadikan kepemimpinan adalah amanah yang akan di pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT kelak.

Loading...

Baca Juga