Amburadul dan Carut Marutnya Kenormalan Baru. Oleh: Ummi Atiyah, Pemerhati Sosial.
Sungguh sangat disayangkan solusi yang dicanangkan pemerintah dalam menangani wabah virus corona yaitu new normal atau kenormalan baru bagai buah simalakama. Berharap dapat memberi sulosi jitu namun kasus-kasus baru corona justru semakin bertambah banyak.
Kasus baru Covid-19 tembus diatas seribu perhari. Pada sabtu (20/06/2020) pemerintah mencatat ada penambahan 1.226 kasus berdasarkan data yang dihimpun dalam 24 jam terakhir. Sumber Kompas.com 20/06/2020
Pemberlakuan new normal atau kenormalan baru selama pandemi virus corona yang direncanakan pemerintah dinilai belum tepat. Sebab Indonesia masih belum aman dari penyebaran Covid-19. Dengan jumlah kasus yang masih terbilang tinggi maka penerapan new normal beresiko tinggi terhadap makin masifnya penyebaran virus corona. Sumber cnnindonesia.com 22/06/2020
Dibukanya kembali sembilan sektor ekonomi dan wacana adaptasi kebiasaan baru (AKB) ditengah masyarakat menyebabkan kenaikan kasus Covid-19. Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menuturkan sikap gegabah pemerintah dalam membuka kembali sembilan sektor ekonimi dan penerapan AKB menimbulkan persepsi keliru ditengah masyarakat ihwal pencegahan penyebaran transmisi lokal virus corona. Sumber Bisnis.com 21/06/2020
Para ahli berpandangan bahwa tingginya angka kasus baru corona diberbagai daerah karena pelonggaran PSBB ditengah kondisi ketidaksiapan masyarakat. Karenanya semestinya program new normal dicabut.
Kurangnya edukasi dan fokus pada penyelesaian penanganan wabah ke masyarakat luas terutama kepada masyarakat yang awam ihwal pencegahan penyebaran transmisi lokal virus corona, justru malah memperburuk keadaan yang terjadi sekarang ini.
Sementara pihak pemeritah beralasan karena faktor tes masif dan pelacakan agresif yang dilakukan oleh pemerintah adalah tanggung jawab negara untuk melakukan tes dan pelacakan agar memastikan individu terinfeksi tidak menularkan ke yang sehat.
Semestinya kelesuan ekonomi yang dialami pelaku ekonimi raksasa atau kapitalis tidak menjadi pendorong pembatasan selama masa karantina. Semestinya fokus pemerintah adalah pemberantasan penyakitnya, bukan malah bernarasi hidup berdampingan dan berdamai dengan corona. Perekonomian Indonesia pun akan sulit berjalan kalau wabah belum diatasi karena kesehatan masyarakat perlu diperkuat lebih dulu. Kesehatan masyarakat yang harus difikirkan dulu ketimbang ekonomi. Masyarakat sehat dan aman dulu baru ekonomi bisa tumbuh.
Beginilah sistem kapitalis yang hanya menjadikan asas manfaat sebagai tolak ukurnya dalam menimbang suatu problem. Jika tidak mendapatkan manfaat atas usahanya kelak maka tak ada alasan untuk meneruskannya. Meski ini menyangkut hajat masyarakat banyak.
Sebagai negara dengan penduduk yang mayoritas muslim seharusnya pemerintah mencontoh dan belajar bagaimana cara Islam mengatasi wabah. Islam sudah memberikan solusi tuntas saat mengatasi pandemi dan terbukti sukses serta dapat mengembalikan perekonomian yang lesu akibat pandemi tanpa mendahulukan kepentingan segelintir golongan yang mengabaikan hajat masyarakaat banyak.
Dalam pandangan Islam, kesehatan dan ekonomi itu menjadi tanggung jawab pemerintah serta kewajiban negara terhadap rakyatnya. Aspek ini wajib dipenuhi untuk menunjang kehidupan umat tanpa diskriminasi dan bukan hanya untuk kepentingan segelintir pengusaha.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab tatkala menangani wabah. Umar bin Khattab, khalifah kedua yang diberi gelar amirul mukminin tersebut pernah diuji musibah di masa kepemimpinannya. Tidak hanya satu, bahkan umat islam saat itu diuji oleh dua musibah. Musibah pertama adalah kekeringan yang melanda Madinah dan musibah yang kedua adalah wabah Tha’un amwas yang menyerang wilayah Syam.
Wabah ini dikabarkan telah menghantarkan kematian tidak kurang dari 30 ribu rakyat. Bukan saja warga negara biasa, bahkan penyakit ini pun menyerang beberapa sahabat Khalifah Umar seperti Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal, dan Suhail bin Amr yang mengantarkan pada wafatnya mereka.
Meskipun ditimpa dua bencana besar, namun Umar bin Khattab tak hilang kendali. Karakter kepemimpinannya yang lahir dari Islam itupun tetap terpancar hingga beliau bersegara menyusun strategi demi mengentaskan persoalan wabah tanpa menggadaikan keselamatan ummat. Tentu saja dengan panduan yang di wariskan oleh Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW telah mewariskan sistem pemerintahan yang independen kepada ummat nya. Yaitu sistem pemerintahan Islam yang didalamnya diatur segala urusan. Tidak ada campur tangan asing dalam pengelolaan negara yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sebab Islam memang mengajarkan yang demikian. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa :141 Allah SWT berfirman :
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.”
Dengan pedoman diatas dan hadirnya sosok pemimpin berkarakter mulia, maka tidak ada celah sedikitpun bagi negara asing untuk mendikte negara Islam. Sehingga tidak perlu mengenyampingkan kepentingan rakyat demi desakan negara asing.
Dari sini kita memahami bahwa sinergi antara negara sebagai pelaksana hukum syara’ dengan pemimpin berkepribadian mulia yang hanya memberlakukan aturan yang berasal dari Allah SWT dan masyarakat yang beramar ma’ruf nahi munkar lalu ditopang oleh ketakwaan individu adalah kunci utama kesuksesan penanggulangan wabah.
Di bawah ri’ayah pemerintahan seperti inilah kesejahteraan dan masa depan rakyat akan terselamatkan. sekalipun didera berbagai musibah dan ujian. Mereka percaya bahwa pemimpinnya tidak akan berlepas tangan. Pemerintahnya tidak mungkin mengorbankan nasib mereka atas dasar pertimbangan ekonomi, apalagi menukarnya demi kepentingan segelintir pengusaha. Wallahua’lam bisshawab