Krisis Keluarga Ditengah Pandemi Dalam Tinjauan Syariat. Oleh: Siti Rima Sarinah, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban.
Hasil riset ketahanan keluarga merupakan rangkaian dari hasil-hasil yang dilakukan Institut Pertanian Bogor (IPB) akibat dampak Covid-19, baik terhadap ekonomi makro dan ketahanan pangan. “Ini dapat menjadi bahan penting untuk dijadikan landasan kebijakan bagi pemerintah,” ujar Rektor IPB University Prof. Arif Satria. Ia menginginkan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil selama pandemi adalah kebijakan yang berbasis saintifik. Dengan adanya kekuatan sains maka kebijakan lebih efektif dalam menjawab persoalan.
Sedangkan Prof Dr Euis Sunarti Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB juga melakukan kajian terhadap ketahanan keluarga saat pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak Maret 2020 dengan melakukan survey online yang diikuti 1337 responden. Hanya 38,7% responden yang memiliki tabungan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sampai 6 bulan. Bahkan 53% responden hanya mengakui hanya memilki tabungan kurang dari 2 bulan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. (radarbogor.id).
Hasil riset di atas menunjukkan bahwa dampak Covid-19 telah mengganggu ketahanan pangan, tekanan ekonomi dan stres serta menurunnya kesejahteraan keluarga dalam menghadapi masa pandemi. Hal ini sangat wajar terjadi, karena adanya Covid-19 telah melumpuhkan sektor perekonomian khususnya rakyat kecil. Gelombang Pemutusan Hubungan kerja (PHK) di kala pandemi mewarnai semakin sulit para kepala keluarga untuk mencari sumber penghasilan baru. Sedangkan kebutuhan sehari-hari menuntut untuk segera dipenuhi. Sehingga muncullah berbagai macam permasalahan yang sangat mempengaruhi tatanan keluarga.
Persoalan krisis keluarga sebenarnya telah ada sebelum munculnya wabah pandemi ini. Dan semakin memuncak disaat wabah pandemi melanda. Peningkatan angka perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), menjadi sesuatu yang sulit untuk dielakkan. Beban kehidupan yang semakin berat, menjadikan tatanan keluarga sulit untuk dipertahankan. Inilah salah satu permasalahan besar yang dihadapi oleh negara ini, yang belum menemui solusinya.
Rapuhnya ketahanan keluarga bukan semata-mata karena ada wabah pandemi. Penerapan kebijakan kapitalistik yang menjadi biang kerok munculnya krisis ketahanan keluarga. Cobalah kita lihat, di tengah pandemi rakyat sulit untuk mendapatkan sesuap nasi namun di saat itu pula rakyat harus dibebani dengan berbagai pungutan seperti pajak, BPJS, pendidikan, kesehatan, listrik dan lain sebagainya yang membuat kehidupan keluarga semakin terpuruk. Semua hajat hidup rakyat yang seharusnya dijamin oleh negara, malah dikomersialisasi oleh negara dan rakyat harus membayar dengan mahal untuk mendapatkannya.
Ibarat jatuh tertimpa tangga pula, itulah gambaran yang dihadapi oleh rakyat saat ini. Keterpurukan ekonomi bukan menjadi penghalang bagi rezim untuk terus dan terus memeras rakyat. Tanpa memperdulikan nasib rakyat akibat berbagai kebijakan yang dikeluarkannya. Semua dilihat dari kaca mata manfaat. Apapun akan dilakukan demi untuk mendapatkan keuntungan/kemanfaatan yang bersifat materi. Mengorbankan rakyat untuk meraih semua tujuannya adalah hal yang biasa dilakukan.
Alih-alih bisa menyelesaikan permasalahan krisis keluarga, justru mengeluarkan kebijakan yang membuat tatanan keluarga semakin hancur. Inilah potret penguasa yang lahir dari sebuah sistem yang meminggirkan nilai spiritual dalam kehidupan dan memberikan wewenang bagi manusia yang lemah untuk membuat aturan. Walhasil, semua aturan buatan manusia membuat manusia itu sendiri terpuruk dalam jurang kehancuran dan kebinasaan.
Menaruh harapan pada sistem yang batil ini, seperti pungguk merindukan bulan. Karena penguasa hanya berfungsi untuk melayani kepentingan para pemilik modal. Rakyat bukan untuk dilayani dan diurusi, tetapi justru rakyatlah yang harus melayani penguasa dengan menjadi “sapi perahan” yang selalu dibutuhkan oleh negara. Ironis memang, hidup di negara yang kaya tetapi tidak sedikitpun rakyat menikmati kekayaan yang dimiliki oleh negara ini. Justru yang menikmati semua kekayaan ini adalah para pemilik modal yang merupakan “teman dekat” penguasa.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, yang akan menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul di tengah masyarakat termasuk masalah krisis ekonomi yang mengakibatkan rapuhnya ketahanan keluarga. Negara wajib menyelesaikan krisisi ekonomi yang terjadi di dalam keluarga dengan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap keluarga. Dalam Islam, keluarga adalah hal yang terpenting dan sangat dijaga keutuhannya. Karena dari keluargalah lahir generasi-generasi muslim yang akan mengemban Islam ke seluruh dunia.
Oleh karena itu, penerapan sistem ekonomi Islam yang khas lahir dari nash-nash syar’i, sebagai penopang dalam menjamin kepala keluarga agar dapat memenuhi semua kebutuhan pokok keluarga. Negara akan memberikan lapangan pekerjaan bagi para kepala keluarga, untuk dapat menunaikan kewajibannya, Sehingga krisis keluarga akan bisa teratasi karena negara berperan mengatasi masalah ekonomi dan masalah-masalah lainnya.
Selain itu, keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT yang menjadi fondasi utama dibangunnya sebuah keluarga. Dengan landasan inilah keluarga dapat melewati berbagai macam cobaan yang datang menerpa, seperti adanya wabah pandemi. Semua dihadapi dengan nuansa keimanan, keyakinan, rida atas qadhaNya dan semakin memperekat ikatan keluarga. Hal ini bisa dilalui oleh keluarga muslim, karena negara menjalankan tupoksinya semaksimal mungkin. Sehingga walaupun dalam kondisi wabah keutuhan keluarga bisa dipertahankan dengan benteng keimanan.
Tupoksi negara ini bisa terlaksana jika diwujudkan dalam sistem Khilafah Islam, yang telah terbukti dalam sejarah selama 1300 tahun mampu mewujudkan kesejahteraan hidup dan mampu mengatasi berbagai krisis yang dihadapi oleh keluarga karena faktor ekonomi. Dan saat ini Khilafah adalah solusi satu-satunya dalam mengatasi berbagai krisis yang ditimbulkan oleh sistem kapitalis sekuler. Campakkan sistem yang batil dan kembali kepangkuan Khilafah Islam. Wallahu a’lam