UKT Naik, Mahasiswa Tercekik! Oleh: Safina An Najah Zuhairoh, Aktivis Muslimah
Jagat maya digemparkan dengan hastag #NadiemDicariMahasiswa, yang merupakan bentuk protes mahasiswa terhadap persoalan naiknya UKT perkuliahan. Jelas, ini menjadi persoalan karena naiknya uang kuliah terjadi di kala corona melanda, saat keadaan ekonomi rakyat sedang krisis dan tidak stabil. Hal ini tentu menjadi beban para mahasiswa dan juga orang tua. Memang, sudah menjadi derita rakyat, diuji dengan adanya wabah ini yang mempengaruhi kondisi perekonomian dan di saat yang bersamaan tercekik oleh biaya pendidikan.
Kalangan mahasiswa telah menyampaikan protes atas minimnya perhatian pemerintah pada keadaan mahasiswa di tengah pandemi. Kuliah daring, orang tua yang kesulitan ekonomi, malah ditambah beban biaya pendidikan yang tetap mencekik. Aliansi Gerakan Mahasiswa Jakarta Bersatu melakukan aksi unjuk rasa di Kementerian dan Kebudayaan (Kemendikbud). Mereka meminta adanya audiensi langsung bersama Nadiem Makarim guna membahas aspirasi mereka. Sebagaimana aksi yang sama juga digelar oleh mahasiswa Universitas Brawijaya di Malang, UIN Maulana Hasanudin di Banten dan lainnya.
Melalui telekonferensi, Nadiem menjawab akan memberikan keringanan UKT. “Jadi kami mengalokasikan dari sekitar sisa anggaran kami Rp 4,1 triliun untuk beasiswa pendidikan tinggi. Kami mengalokasikan sekitar Rp 1 triliun untuk dana bantuan UKT mahasiswa, yang terutama akan dimanfaatkan untuk perguruan tinggi swasta. Dan ini memberikan bantuan UKT” kata Nadiem. (Kompas.com, 21/02/2020).
Meski akhirnya Kemendikbud menetapkan ada skema penurunan UKT, ternyata kabar yang tersiar tak seindah fakta di lapangan. Berbagai persyaratan yang tak mudah untuk dapatkan keringanan pembayaran uang kuliah pun ditetapkan. Alternatif yang tersedia berupa penundaan pembayaran, penyicilan uang kuliah, penurunan level dan mencari beasiswa.
Lelahnya mencari titik temu dari persoalan ini menyebabkan geram amarah di hati,”Bukankah pendidikan seharusnya gratis? Ini adalah kebutuhan negeri dan generasi! Mengapa para pembuat kebijakan sudah merasa tenteram dengan semua ini. Ini masih menyulitkan!”
Saya dan juga kawan-kawan merasakan kegalauan yang sama.
Padahal jika diingat seharusnya negara berperan menfasilitasi penuh kebutuhan dalam menunjang pendidikan. Mengingat kekayaan alam Indonesia yang luar biasa, rasanya tak serakah jika mengenyam pendidikan yang baik adalah hak rakyat yang harus dipenuhi dan ditanggung oleh negara.
Karena pendidikan merupakan pilar utama pencetak generasi penerus yang berkualitas. Bagaimana bisa generasi berkualitas tercetak dari negeri ini jika sarana prasarana pendidikan tak mudah diraih dan cenderung dikomersialisasi?
Hal ini harus disadari oleh umat. Memaklumi kehadiran negara hanya berwujud penurunan UKT di masa pandemi sama saja dengan membiarkan berlangsungnya pendidikan sekuler yang mengamputasi potensi generasi khairu ummah (umat terbaik). Sumber dari semua masalah ini -khususnya pendidikan- adalah tata kelola yang keliru disebabkan penguasa yang berwujud kapitalis.
Wajar jika terjadi fenomena kebutuhan dasar negara justru dikomersialkan. Berujung pada kepentingan para pebisnis raksasa yang mengkontrol kebutuhan dasar utama, yakni pendidikan bangsa. Tak peduli rakyat sepedih dan sesusah apa menanggung beban mereka yang seharusnya menjadi tanggungan negara.
Sudah saatnya umat sadar, semua penderitaan ini sebab tak terterapkannya syariat Allah SWT. Sudah saatnya kita sadar dan bercermin pada Nabi Muhammad SAW dan para Khulafa’, bagaimana mereka dahulu menata dan mengelola negeri sesuai dengan syariat Allah SWT mampu menjadikan kaum Muslimin sebagai khairu ummah (umat terbaik).
Generasi terbaik lahir dan sistem dan tata kelola yang baik yakni sesuai dengan arahan Ilahi.
Sejarah menjadi saksi bisu bagaimana menakjubkannya masa The Golden Age, masa kejayaan Islam. Ketika kaum Muslim berada dalam kepemimpinan yang satu, dipimpin oleh pemimpin yang satu. Khalifah dalam naungan Khilafah. Kesejahteraan bisa diraih dan rahmat Islam tersebar luas nan tinggi