UKT Melambung, Mahasiswa Limbung. Oleh: N. Suci Megah Hati, S.Pd, Ibu Generasi, Member Akademi Menulis Kreatif.
Faktor yang menjamin keberhasilan pendidikan suatu negara adalah kebijakan pendidikannya. Meski sebuah negara melimpah SDM kesarjanaannya dan memiliki lembaga sekolah yang menjamur dari ujung ke ujung negeri. Namun, jika kebijakan pendidikannya tidak jelas, bahkan tidak mandiri atau membebek asing, sia-sialah semua potensi yang dimiliki.
Persoalan terbesar yang selalu mencuat dalam setiap diskusi adalah pembiayaan pendidikan di negeri ini. Terutama pembiayaan pendidikan di perguruan tinggi (PT). Beratnya pembiayaan pendidikan ini tentu tak lepas dari adanya otonomi pendidikan pada PT sejak tahun 1994. Hasil dari ratifikasi perjanjian WTO yang menghasilkan perjanjian lain.
Salah satunya adalah General Agreement On Trade in Services (GATS). Dengan meratifikasi GATS, maka Indonesia menyepakati untuk mengadakan liberalisasi terhadap 12 sektor jasa yang salah satunya adalah sektor jasa pendidikan.
Pada tahun 1994, terbit PP Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang merupakan langkah awal untuk meliberalisasi sektor jasa pendidikan, dimulai dari pendidikan tinggi. Kelompok pro-otonomi kemudian memperjuangkan pembentukan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang UU BHP yang meliberalisasi seluruh institusi pendidikan negeri mulai dari level sekolah dasar hingga level pendidikan tinggi. Terkutip, “Khusus untuk pendanaan pendidikan bagi BHPP dan BHPPD, pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit 1/3 biaya operasional untuk pendidikan menengah dan paling sedikit 1/2 biaya operasional untuk pendidikan tinggi (Pasal 41 ayat 4 dan 6).
Biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung oleh peserta didik dalam BHPP dan BHPPD paling banyak 1/3 dari biaya operasional. Dalam pasal lain UU BHP juga mewajibkan penyelenggara pendidikan untuk memberikan beasiswa, bantuan pendidikan, kredit mahasiswa dan pemberian pekerjaan kepada peserta didik (Pasal 40), dan wajib menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20% dan jumlah keseluruhan peserta didik.” (Okezone.com, 20/12/2008).
Dana ini juga belum termasuk bantuan pemerintah dan pemerintah daerah kepada BHPM. Jika pemerintah tak memiliki dana cukup untuk membiayai itu semua, maka kekhawatiran sejumlah mahasiswa dalam praktik PT BHMN selama ini akan terjadi. Hal lain yang cukup mengganggu, sering kali implementasi UU terhambat oleh buruknya kapasitas sistem birokrasi negara. Menangkap potensi komersialisasi, palu Mahkamah Konstitusi pada tahun 2009 menegakkan kebenaran dengan membatalkan UU tersebut yang dalam salah satu dalil putusan nomor 11–14–21–126–136/PUU-VII/2009 menyatakan “Dalam keadaan tidak adanya kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran yang paling rentan adalah peserta didik yaitu dengan cara menciptakan pungutan dengan nama lain di luar biaya sekolah atau kuliah yang akhirnya secara langsung atau tidak langsung membebani peserta didik.”
Meski telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, konsepsi otonomi pendidikan tinggi tetap mengundang perdebatan dari berbagai pihak. Terutama dari kalangan aktivis mahasiswa yang pada masa tersebut mengkhawatirkan akan berimplikasi buruk terhadap aksesibilitas pendidikan, biaya pendidikan akan naik secara drastis akibat universitas dikelola dengan metode mendekati swasta. Majelis Wali Amanat bertindak layaknya dewan komisaris dan rektor layaknya direktur eksekutif dalam sebuah perusahaan. Logika ini didapatkan karena universitas yang tadinya tidak memiliki wewenang pengelolaan di bidang ketenagaan, sarana prasarana dan keuangan, kini dilimpahkan kewenangan begitu saja secara bebas .
(medium.com, 19/04/2018)
Sampai kini, kisruh mahasiswa yang tertimpa beban finansial kuliah terus bergulir. Dengan adanya pandemi ini, membengkaknya biaya akan kebutuhan kuliah selain dari UKT diikuti melambungnya kebutuhan kuota. Akan tetapi pendapatan mahasiswa yang masih ditopang orangtua mereka membuat keadaan semakin tak karuan. Pasalnya, dengan pendapatan sukar dicari selama pandemi ini, banyak mahasiswa limbung dengan biaya kuliah yang melambung.
Simalakama, kemungkinan besar juga terjadi pada PT. Baik PTN dan PTS dalam hitungan besar. Sebagai reaksinya mahasiswa berdemo untuk meminta keringanan UKT dengan menurunkan nominal UKT atau bahkan menghilangkan UKT pada mahasiswa yang orangtuanya terdampak Covid langsung hingga pengunduran diri ratusan mahasiswanya yang tak sanggup memenuhi ketentuan UKT dan tak kuat membebani orangtua mereka. Seberapa lama, berapa banyak mahasiswa yang terbantu dan bagaimana PT mampu membiayai semua keperluannya saat harus menanggung operasional sekaligus mengucurkan bantuan UKT pada mahasiswanya, adalah perkara yang juga harus dievaluasi. Meski wacana Kemendikbud menggelontorkan satu triliun untuk mengatasi tingginya kebutuhan UKT pada pandemi ini, rasanya tak cukup mampu mengatasi drop out bahkan tutupnya PT saat pandemi. Komersialisasi pendidikan justru jadi ‘wabah’ bagi lembaga dan subjek pendidikan.
Ironis, dengan melimpahnya SDM produktif belajar di negeri ini. Tak seharusnya biaya selalu menjadi kendala cita-cita mereka menjadi manusia pengisi peradaban. Mereka yang seharusnya adalah aset bangsa yang akan diberdayakan di masa depan, ternyata tak semulus adanya. Cita-cita PT yang tentu ingin menghasilkan para lulusan sarjana terbaik pun mengalami limbung. Tentu saja, pilihannya tetap keduanya harus diselamatkan dari keadaan ini. Perlu ada realisasi kebijakan pendidikan yang ideal dan komprehensif. Kebijakan yang mampu menghilangkan berbagai masalah yang akan dihadapi lembaga pendidikan maupun subjek pendidikan, yang tak lain adalah generasi negeri ini. Kebijakan yang tak mungkin diampu selain oleh pengurus rakyat yang tertinggi yakni negara.
Negara berkewajiban menjamin segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Mulai dari urgensi sistem pendidikan, asas pendidikan, kebijakan umum pendidikan seperti kurikulum, strategi pendidikan, tujuan pendidikan, jenjang pendidikan, sarana prasarana hingga fasilitas penunjang pendidikan.
Khusus pendidikan tinggi, negara dengan sistem pendidikannya harus mampu memperdalam kepribadian mahasiswa menjadi pemimpin, menegakkan dan menjaga eksistensi sistem negara, memperkuat PT sebagai lembaga yang menghasilkan SDM yang mampu menyusun kebijakan strategis sebagai masukan bagi negara, ahli militer, pakar ilmu pengetahuan, peneliti dan ahli di segala bidang ilmu pengetahuan. Termasuk melahirkan para politisi dan mempersiapkan tenaga profesional yang diperlukan untuk melayani urusan masyarakat seperti guru-dosen, perawat-dokter, insinyur-arsitek, dan lain sebagainya.
Peran negara adalah berkewajiban menjamin segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, membuka kesempatan pendidikan tinggi seluas mungkin dengan fasilitas sebaik mungkin secara cuma-cuma mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penyedia pendidikan adalah tanggungjawab negara yang dibiayai dari APBN yang pemasukan, pengelolaan dan pendistribusiannya terkait dengan kebijakan sistem ekonomi negara yang paripurna. Pembiayaan sistem pendidikan ini diambil dari pendapatan negara yang tentunya mampu menutup semua anggaran kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar rakyat salah satunya dalam bidang pendidikan. Hal ini tak kan mungkin tercapai tanpa intervensi penuh negara dan menolak komersialisasi pendidikan dan penerapan ekonomi neoliberal saat ini.
Mewujudkannya butuh kesadaran, melihat sisi krisis pendidikan negeri saat ini dan keinginan yang kuat merubahnya pada kondisi ideal. Tak hanya negeri ini, negara-negara besar dunia bahkan negara yang masih merasa menjadi negara adidaya saat ini, belum mampu mewujudkan sistem pendidikannya dengan sempurna menjadi mercusuar kegemilangan peradaban manusia. Hanya satu negara adidaya lama di masa lalu yang gaung kesohorannya masih terasa dan diakui hingga saat ini. Bidang pendidikan membawanya pada posisi pembawa cahaya gemilang di kegelapan dunia saat itu. Negara yang dilandasi dengan asas ketakwaan pada Tuhan semesta alam, menerapkan aturan syariat-Nya dengan sistem pemerintahan Islam dalam institusi Khilafah Islamiyah.
Wallahu ‘alam bishshawab