Polemik PPDB: Kisruh yang Bikin Gaduh. Oleh: Sartika Saragih, A.Md. Pemerhati Kebijakan Publik.
Kisruh di ranah pendidikan kembali terjadi. Pasalnya, mekanisme pembatasan usia pada sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menuai protes dari orang tua peserta didik.
Aturan penerimaan peserta didik baru sistem zonasi, mengutamakan usia. Sehingga, ketika usia peserta didik tidak mencapai persyaratan usia yang sudah ditetapkan sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh Kemendikbud maka pihak sekolah tidak bisa menerima peserta didik tersebut.
Pro dan kontra tak dapat dihindari. Komisi Nasional Perlindungan Anak meminta Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta tahun ini dibatalkan atau diulang. Alasannya, kebijakan batas usia yang diterapkan Dinas Pendidikan DKI Jakarta dinilai bertentangan dengan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 (VivaNews.com, 28/6/2020)
Menurut Komnas Anak, banyak laporan dan protes dari orang tua siswa terhadap mekanisme pembatasan usia pada sistem PPDB tersebut, sehingga pihaknya menuntut agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membatalkan proses PPDB DKI Jakarta dan mengulang kembali proses penerimaan murid.
Tidak hanya itu. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga meminta Gubernur DKI Jakarta yakni Anies Baswedan agar dapat merevisi ulang aturan Penerimaan Peserta Didik Baru TA. 2020-2021, karena dinilai tidak sesuai dengan Permendikbud No. 44 tahun 2009. Sehingga LBH meminta proses penerimaan siswa baru dijadwalkan ulang.
Padahal, di tempat yang lain seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Batam dan Riau, penerapan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tidaklah bermasalah, apalagi sampai menjadi kisruh yang bikin gaduh sebagaimana di DKI. Sebab, Propinsi-propinsi tersebut menerapkan Pasal 25 ayat 1 yang mengedepankan afirmasi zonasi, jarak dan paling akhir usia untuk kuota berikutnya. Bukan menjadikan usia sebagai persyaratan utama.
Kisruh yang Membuat Gaduh
Kisruh akibat PPDB pun tak dapat dielak, hal ini memicu kericuhan karena pada akhirnya banyak yang tidak diterima di sekolah yang dekat dengan tempat tinggal, dan kemungkinan besar malah akan diterima di sekolah yang jaraknya jauh dari tempat tinggal. Nah, hal ini semakin membuat kisruh para orang tua, peserta didik dan pihak sekolah itu sendiri.
Padahal jika diperhatikan kembali, bahwa prinsip dari Permendikbud 44/2019 adalah mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah. Faktor usia peserta didik yang lebih tua baru akan menjadi faktor yang dipertimbangkan ketika terdapat kesamaan jarak tinggal calon peserta didik dengan sekolah.
Jika tidak demikian, maka akibatnya nanti peserta didik akan bersekolah di tempat yang jauh dari rumah dan hal tersebut akan berdampak pada waktu yang dihabiskan di jalan termasuk ongkos sehari-hari yang juga memberatkan bukan?
Terkait tahapan PPDB di DKI Jakarta pada 2020 ini juga dinilai aneh. Sesuai Permendikbud, tahapan jalur prestasi dapat dibuka jika masih ada sisa kuota. Namun, di PPDB kali ini jalur prestasi dibuka lebih dulu dibanding jalur reguler.
Mengenai prioritas tahapan. Dalam Permendikbud 44/2019, diatur bahwa untuk jalur zonasi, afirmasi dan perpindahan tugas orang tua terdapat kuota tertentu yang harus dipenuhi.
Adapun untuk jalur prestasi, prinsipnya pemerintah daerah dapat membuka jika masih terdapat sisa kuota. Mengacu pada ketentuan tersebut, penentuan prioritas tahapan PPDB DKI 2020 menjadi aneh ketika pelaksanaan jalur prestasi non akademik (15 Juni) dilakukan mendahului jalur zonasi (25-25 Juni). Hal ini sekali lagi tidak sesuai dengan semangat sistem zonasi yang seharusnya diutamakan.
Inilah potret nyata kegagalan negara menjamin layanan Pendidikan. Pemberlakuan kuota karena terbatasnya kemampuan menyediakan fasilitas Pendidikan melahirkan sistem zonasi, menghantar pada beragam kisruh setiap tahunnya dan menelantarkan hak anak umat.
Sistem Pendidikan Terbaik Di Dalam Islam
Dalam Islam tidak ada pembatasan pendidikan hendak dimana. Sifatnya bebas dan tak terbatas. Tidak ada batasan sistem zonasi tempat tinggal maupun zonasi usia. Semua rakyat bebas untuk menuntuk ilmu sebanyak-banyak dimanapun.
Bukan hanya itu, negara juga menyiapkan berbagai fasilitas pendukung terselenggaranya pendidikan. Seperti gedung yang nyaman, laboratorium yang lengkap, perpustakaan yang memadai bahkan sampai kepada peralatan riset dan sebagainya.
Kemudian peserta didik juga difasilitasi dengan berbagai penunjang alat praktik dengan hak yang sama. Tanpa melihat apakah peserta didik berasal dari keluarga yang kaya ataupun miskin. Semua dipandang sama tanpa melihat strata sosial. Karena sejatinya di dalam Islam negara menjamin terpenuhinya kebutuhan primer, sekunder, kesehatan termasuk pendidikan yang berkualitas.
Begitu juga halnya dengan pendidik. Negara menyiapkan guru-guru yang ahli dibidangnya. Yang mereka juga memiliki ketaatan yang kuat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sehingga siap mencetak generasi penerus peradaban mulia.
Sementara kapitalis sangat jelas pengabaiannya terhadap pendidik dan diskriminasi terhadap peserta didik, hingga membuat sistem zonasi baik domisili maupun usia. Bukankah hal ini akan makin mempersulit generasi untuk mendapatkan hak untuk menimba ilmu disekolah yang diinginkan?
Kemudian Islam juga melahirkan begitu banyak lembaga pendidikan dan menjadi pusat-pusat studi dan kajian. Dan membolehkan siapa saja untuk ikut serta belajar, tanpa mendiskriminasi para pembelajarnya dengan batasan agama, ras, warna kulit, apalagi hanya persoalan lokasi dan usia.
Nah, kemudian yang berkaitan dengan pembiayaan pendidikan dalam sistem Islam merupakan sepenuhnya oleh negara (Baitul Maal). Pos kepemilikan umum yaitu SDA, seperti tambang, hutan, minyak dan gas, serta laut.
Biaya pendidikan dari Baitul Mal tersebut secara garis besar akan dibelanjakan untuk dua kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang berhubungan dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasarana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku pegangan, dan sebagainya.
Adapun sekolah adalah sebagai penanggung jawabnya secara langsung oleh negara sendiri atau dibangun dan didanai oleh individu-individu atau kelompok-kelompok yang kaya di dalam komunitas yang berbagi tanggungjawab untuk mendidik generasi yang nantinya sebagai estafet peradaban.
Maka untuk mewujudkannya, perlu adanya dukungan dari Negara, dalam hal ini adalah penguasa, yaitu orang yang berkuasa dalam pengambil kebijakan di Negara. Wallahu’alambishoab.