RUU PKS Bukanlah Solusi Pencegahan Kekerasan Seksual. Oleh: Tawati, Muslimah Revowriter Majalengka dan Member Writing Class With Hass.
Pro dan kontra terkait pencabutan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) terus menggelinding. Atas hal itu, Anggota Komisi VIII DPR RI, Hj Selly Andriany Gantina AMd menyampaikan, tidak ada upaya menghilangkan RUU PKS dari Prolegnas prioritas tahun 2020.
“Saya rasa, jika tidak diklarifikasi akan jadi bola liar di publik. RUU PKS hanya digeser, dari sebelumnya berada di tanggungjawab Komisi VIII menjadi di bawah Badan Legislasi,” kata Selly, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/7). Selly menambahkan, pihaknya di Komisi VIII sejak awal selalu memperhatikan aspirasi masyarakat terkait RUU PKS. Terlebih di masa pandemi ini rentan terjadi kekerasan seksual lantaran banyak aktivitas dilakukan di rumah. (Dikutip Citrust.Id, 4/7/2020)
Kekerasan seksual memang telah menjadi masalah global. Apalagi sejak #MeeToo -gerakan dari orang-orang yang mengalami penyerangan dan pelecehan seksual yang tak pernah mengeluarkan suara sebelumnya seakan-akan menjadi kebutuhan penyintas ataupun pemerhati masalah ini.
Bila menilik dari tujuan legislasi RUU PKS, terkesan ada keprihatinan akan peningkatan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak dan perempuan. Komnas Perempuan sebagai salah satu National Human Right Institution, secara ajeg dalam periode tertentu menyampaikan reportase tentang trend peningkatan kasus tersebut. Bahkan sebenarnya, darurat kekerasan seksual terhadap anak telah disampaikan sejak tahun 2015. Nyatanya, kasus yang terjadi tidak berhenti, namun kian banyak dan mengerikan.
Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bila dibaca secara teliti, dengan menggunakan paradigma Islam politik, akan tampak jika muatan western yang memuja sekularisasi dan liberalisasi turut mendominasi materi RUU ini.
Definisi ‘Kekerasan seksual’ yang digunakan terfokus pada klausul “secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas” memberi kesan bahwa sebuah perbuatan seksual yang dilakukan tanpa paksaan, dikehendaki oleh satu sama lain sekalipun relasinya tidak setara dan seseorang secara bebas memberikan persetujuannya, tidak akan dikategorikan sebagai perbuatan yang patut disanksi.
Di sinilah peran agama apalagi Islam dinafikan. Karena bagi pemuja liberalisme, mereka memiliki doktrin “my body my otority”, “tidak ada urusan dengan kebebasan kami”, “aurat gue, bukan urusan loe..”
Jika tubuh seseorang dieksploitasi demi hasrat seksual, namun atas persetujuan yang bersangkutan, dan atas karenanya yang bersangkutan akan mendapatkan keuntungan, tidak akan terkena delik kekerasan. Jelas klausul ini ambigu. Apalagi jika kita mengingat kegagalan kalangan Muslim mengakomodir UU tentang kepornoan, karena klausul pornoaksi tidak disetujui oleh kalangan pemuja syahwat.
Akibatnya, sampai sekarang kepornoan masih berkeliaran di kehidupan masyarakat, karena yang dijerat oleh UU itu hanya pornografi. Apalagi frasa ‘kontrol seksual’ ditafsirkan kalangan feminis liberalis sebagai ‘pemaksaan’ menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu, sebagaimana yang saat ini dipraktikkan di provinsi Aceh.
Muara dari semua solusi kejahatan seksual tidak akan mampu menghentikan predator seksual. Senyatanya, semua penanganan tersebut adalah perlindungan abal-abal. Disangka sebagai perlindungan, namun tidak mampu menjadi perisai bagi kehidupan mereka. Juga tidak mampu menghilangkan semua ancaman.
Artinya, selama faktor-faktor penyebab kejahatan tidak mampu dilenyapkan, keamanan, kehormatan dan nyawa perempuan dan anak-anak masih terancam. Jikapun ada upaya merehabilitasi pelaku kejahatan, lingkungan tempat hidup masyarakat yang sekuler dan liberal masih akan menyimpan benih-benih kerusakan yang berpotensi menjadi ancaman laten bagi masyarakat.
Begitulah yang terjadi bila pemerintah dan masyarakat tidak mau keluar dari konsepsi demokrasi sekularis yang mendasarkan penyelesaian problem manusia dari ‘kecerdasan’ akalnya. Padahal, seumur peradaban manusia, solusi yang didasarkan pada hukum ciptaan manusia hanya berujung pada persoalan baru, bukan penyelesaian masalah. Jadi mencegah kekerasan seksual dengan RUU PKS ini tidaklah tepat.
Seharusnya penanganan kejahatan dilakukan secara preventif dan kuratif. Tanpa upaya preventif, apapun langkah kuratif yang dilakukan, seperti menjatuhkan sanksi hukum yang berat, tidak akan pernah efektif. Sesungguhnya penanggulangan kejahatan seksual, bahkan penanggulangan semua penyakit sosial yang ada dalam sistem sekuler-kapitalis saat ini, wajib dikembalikan kepada Syariah Islam yang diterapkan secara kaffah dalam negara Khilafah.
Dengan tiga pilar pelaksanaan Syariah Islam, yaitu ketakwaan individu, kontrol sosial, dan penegakan hukum oleh negara, insya Allah semua penyakit dan kejahatan sosial akan dapat dikurangi atau bahkan dilenyapkan dari muka bumi dengan seizin Allah.
Walhasil, kejahatan ini tidak akan terjadi bila masyarakat memiliki keyakinan bahwa sekecil apapun perbuatan buruk, akan diketahui Allah SWT dan pasti mendapatkan balasan di hari akhirat. Keterikatan pada hukum syariat mampu mencegah perbuatan zalim apapun dan terhadap siapapun.
Mekanisme sistem sanksi dalam Khilafah Islam yang tegas pun akan menjadi penghalang kemaksiatan, karena keberpihakan hanya berlaku pada hukum Allah, bukan pada penguasa ataupun pengusaha.
Wallahu a’lam bishshawab.