oleh

Polemik PPDB : Masyarakat Gusar, Pemerintah Galau, Opini Nursinah

Polemik PPDB : Masyarakat Gusar, Pemerintah Galau

Oleh : Norsinah, S.Pd (Aktivis Dakwah)

Memandang kebijakan yang telah dikeluakan para elit negeri ini begitu mencengangkan, pasalnya banyak yang membuat rakyat ini semakin menderita, yang seharusnya rakyat diayomi dan diurusi urusannya malah membebani rakyat dengan kehidupan yang semakin hari aturannya carut-marut. Hal ini nampak dari kebijakan yang baru saja dikeluarkan oleh Mendikbud menjelaslan pada media KOMPAS.com- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada 2020, termasuk Jalur Afirmasi. Permendikbud Nomor 44 terkait PPDB 2020 tersebut telah ditandatangani oleh Mendikbud Nadiem Makarim pada 10 Desember 2019. Dalam permendikbud tersebut, Nadiem Makarim menegaskan di dalamnya masih menjalankan kebijakan zonasi.

Namun demikian, Mendikbud Nadiem meyakinkan sistem zonasi PPDB 2020 telah mengakomodir masukan berbagai pemangku pendidikan termasuk soal jalur afirmasi. “Kebijakan zonasi esensinya adalah adanya jalur afirmasi untuk siswa dan keluarga pemegang KIP yang tingkat ekonominya masih rendah,” tegas Mendikbud. Ada 8 ragam informasi terkait jalur afirmasi yang diatur dalam Permendikbud Nomor 44 tahun 2019 tentang PPDB 2020, jalur afirmasi Jalur afirmasi adalah jalur PPDB yang khusus diperuntukkan bagi peserta didik berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu. Lihat : https://edukasi.kompas.com

Kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim ini tentu akan mengakibatkan efek yang sangat besar karena rakyat akan semakin kesulitan dalam mengurus pendidikan anak-anak mereka apalagi hal ini masih dalam situasi pandemi. Sehingga muncullah pro dan kontra dari masyarakat seperti halnya disampaikan oleh ibu Hesty Hadiatini, orangtua siswa yang akan memasukkan anaknya ke SMA Negeri di Depok mengatakan bahwa anaknya memiliki nilai UN 34. Namun saat akan mendaftar, rumahnya berlokasi 3.600 meter atau 3,6 kilometer dari sekolah yang dia idamkan.

“Khawatir anak saya tidak masuk. Karena 3.600 meter jaraknya. Kalau sampai anak saya tidak keterima di mana letak keadilan dalam PPDB. Masa hanya karena jarak saja anak saya gagal masuk sekolah negeri idaman,” keluh Hesty di Depok, Jawa Barat, Rabu (19/6). Anak Hesty mengambil jalur kombinasi, yakni jalur yang memadukan jarak rumah dengan nilai UN yang dimiliki siswa. “Saya sangat berharap anak saya bisa diterima,” kata Hesty.
Lihat : https://www.beritasatu.com

Begitupun halnya yang terjadi di wilayah dengan sebutan Benua Etam penghasil ‘emas hitam’ yaitu Kalimantan Timur dikutip dari media online dikatakan meskipun syarat utama sistem zonasi adalah jarak tempat tinggal siswa ke sekolah tujuan, namun faktor lain yang dilihat adalah keadaan ekonomi orang tua dan nilai ujian nasional. Nilai ujian akhir bukan diabaikan namun tetap jadi perhatian.

Baca Juga :  Jangan Merusak Wibawa dan Marwah Agama Islam di Panggung Dunia

Sementara Sekretaris Dewan Pendidikan Provinsi Kaltim Djoko Iriandono menuturkan Pemerintah pusat memang agak lamban menerbitkan peraturan. Kalau perlu bulan Januari sudah diterbitkan Perautran Mentri untuk PPDB pada tahun itu, juknis disesuaikan dengan kondisi di lapangan.

Pemprov Kaltim tentunya harus mendorong atau mengusulkan kepada Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pendidikan agar penerbitan surat keputusan tentang PPDB jauh diawal sudah diterbitkan. “Sistem Zonasi sendiri ada beberapa masyarakat yang suka dan juga ada yang tidak, yang suka yang punya rumah dekat sekolah karena pasti dia terakomodir,”terangnya. https://diskominfo.kaltimprov.go.id

Kebijakan Carut Marut

Mari kita telusuri, problem PPDB Zonasi ini sejatinya tak lepas dari paradigma pengelolaan kekuasaan negara yang neoliberal. Sebagai bagian dari sistem politik dan ekonomi global, Indonesia menganut model pengelolaan kekuasaan Reinventing Government (mewirausahakan birokrasi). Dengan model ini, negara dituntut memberi kesempatan seluas-luasnya kepada swasta (masyarakat) untuk terlibat dalam kewajiban yang seharusnya dilakukan negara. Selanjutnya negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, bukan pelaksana (operator).

Oleh karena itu, peran sekolah swasta menjadi hal yang sangat diharapkan dalam proses pendidikan. Data yang disampaikan Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PDSPK) menunjukkan bahwa jumlah sekolah negeri pada jenjang SMP lebih sedikit dibandingkan SMA. Sementara lebih dari 60% SMA ternyata merupakan sekolah swasta. Berkaitan dengan kurangnya daya tampung sekolah negeri, Pemerintah beranggapan bahwa membangun sekolah negeri baru untuk meningkatkan akses pendidikan bukan langkah yang ekonomis untuk dilakukan dalam waktu dekat. Karena itu, kemitraan Pemerintah dengan swasta (masyarakat) dianggap solusi.

Pemerintah akan mendorong pihak swasta (masyarakat) penyelenggara pendidikan agar memahami kebutuhan masyarakat. Seperti, himbauan agar menurunkan biaya pendidikan, meningkatkan kualitas dan sebagainya. Inilah, Benang kusut PPDB Zonasi sejatinya tak akan terurai selama Negara tidak mengubah paradigma pelayanan pendidikan. Dan hal ini terkait dengan sistem politik demokrasi kapitalis neoliberal.

Paradigma Negara sebagai regulator dikuatkan oleh manajemen pemerintahan yang keliru, yakni otonomi daerah. Pelayanan pendidikan termasuk ke dalam kebijakan yang pelaksanannya diserahkan kepada daerah. Otonomi daerah juga memicu problem aturan zonasi. Contohnya, hanya karena kendala administrasi wilayah, ada sebagian warga masyarakat (terutama di perbatasan) yang tidak bisa bersekolah di sekolah yang paling dekat dengan tempat tinggalnya. Meski tidak banyak, namun ini tetap masalah.

Baca Juga :  Mantan Ajudan Gubernur Sultra Di Demo Terkait Dugaan Pencucian, Penyuapan Dan Gratifikasi Uang

Problem kondisi sekolah di Indonesia yang belum merata kualitasnya, juga penyebaran guru berkualitas yang belum merata, tentu juga terkait Otonomi Daerah. Menurut data terakhir Kemendikbud, ruang kelas yang kondisinya tergolong baik tidak mencapai 50% di seluruh Indonesia. Artinya lebih banyak ruang kelas yang rusak dibandingkan yang baik. Dalam hal ini, Pemerintah Daerahlah yang terus didorong untuk mengupayakan solusi masalah ini. Padahal, kondisi inilah yang memicu sengkarut PPDB zonasi.

Masalah satu belum selesai, adapun masalah lain yang dialami seperti anggaran sulit yang terjadi, jika selama negara berpegang kepada pembatasan anggaran (sesuai APBN), maka negara tidak akan optimal membangun pendidikan, baik untuk menyediakan sarana prasarana maupun tenaga pendidik (guru berkualitas). Dan standar berpikir yang keliru di masyarakat, bahwa yang terbaik adalah yang berprestasi. Sehingga untuk bersekolah haruslah diseleksi berdasar nilai (capaian akademik), bahwa pendidikan merupakan hak seluruh warga, bagaimana pun kondisi mereka, baik secara ekonomi maupun usia bahkan kapasitas akademik.

Islam Penyelenggara Pendidikan Terbaik

Berbeda dengan sistem kapitalis, dalam sistem Islam, kepala negara (Khalifah) adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negara. Negara hadir sebagai pelaksana (operator, bukan regulator atau fisilitator) dalam pelayanan pendidikan. Hal ini karena Islam telah memandatkan kepada negara berupa tanggung jawab pengurusan seluruh urusan umat. Sebagaimana dalam hadis dinyatakan:
“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Dengan peran utama ini, negara bertanggung jawab untuk memberikan sarana prasarana, baik gedung sekolah beserta seluruh kelengkapannya, guru kompeten, kurikulum sahih, maupun konsep tata kelola sekolahnya. Negara juga harus memastikan setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pendidikan secara mudah dan sesuai kemampuannya. Dalam hal ini, birokrasi Khilafah berpegang kepada tiga prinsip: kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalitas orang yang mengurusi. Dengan prinsip ini kerumitan mendaftar sekolah sangat bisa diminimalisasi.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh (melaksanakan qishash) maka lakukanlah pembunuhan itu secara ihsan (baik/sempurna). Jika kalian menyembelih, maka lakukanlah penyembelihan itu secara ihsan.” (HR Muslim dari Syadad bin Aus)

Baca Juga :  AMAIB: Jangan Mau Masyarakat Ketipu Perusahaan GCG ASIA Bodong

Dalam negara Islam atau disebut juga Khilafah tak mengenal otonomi daerah khas negara Kapitalis. Kepala negara (khalifah) bertanggung jawab dengan membentuk Diwan mashalihun naas (semacam departemen) bidang pendidikan. Melalui lembaga ini, segala keperluan pendidikan diurus. Lembaga ini juga akan bekerja sama dengan pemerintahan tingkat daerah (perwalian). Karenanya, tak perlu terjadi kekisruhan kebijakan pusat dan daerah, baik berupa tumpang tindih kebijakan maupun lempar tanggung jawab sebagaimana kerap terjadi dalam sistem pendidikan kapitalis.

Adapun persoalan anggaran pendidikan, maka negara Khilafah mengatur anggaran secara terpusat. Dengan mekanisme pembiayaan yang dikelola baitulmal, negara mampu memenuhi seluruh kebutuhan pendidikan. Hal ini tentu dapat meminimalisasi problem kemampuan daerah yang bervariasi. Kondisi tersebut tidak ditemui dalam sistem kapitalis saat ini. Pembiayaan guru honorer yang dikelola pemerintah daerah terbuki menjadikan pendidikan terpuruk di berbagai daerah. Padahal inilah salah satu pangkal persoalan zonasi PPDB.

Negara Khilafah juga senantiasa membangun suasana takwa warga negaranya. Negara akan terus membangun paradigma pendidikan sahih di tengah-tengah masyarakat. Sehingga masyarakat tidak mispersepsi tentang pendidikan. Mereka hanya mengejar capaian sahih dari proses pendidikan. Yakni, berlomba-lomba mencari derajat tertinggi di sisi Allah melalui ilmu yang diraihnya. Dalam kondisi sekolah yang dikelola secara baik oleh Negara (baik secara kualitas maupun kuantitas), warga negara juga tulus ikhlas mencari pendidikan, tentu akan meminimalisasi problem dalam proses penerimaan siswa atau alih jenjang. Walhasil, keberlangsungan pendidikan akan berjalan dengan khidmat tanpa kisruh. Capaian pendidikan benar-benar optimal untuk membangun peradaban.

Inilah yang pernah terjadi di masa kegemilangan Islam dahulu. Tak ada yang bisa memungkiri kiprah para ilmuwan hasil pendidikan sistem Khilafah Islam. Bahkan pengaruhnya masih bisa dirasakan kini, terpancar keberkahan karena semua pengaturan diserahkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai satu-satunya Zat yang layak mengatur kehidupan manusia.

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al A’raaf [7] : 96)

Loading...

Baca Juga