Liberal Pariwisata, Nanti Tak Akan Ada Lagi.!
Oleh : Patimatul Jahroh, SEI. (Anggota Komunitas Aktif Menulis)
Sektor pariwisata di Indonesia selalu naik daun, promosi masif guna melariskan dagangan berwisata ke tempat-tempat wisata tak boleh terlewatkan, mulai dari wisata kuliner, tempat panorama alam yang memanjakan mata hingga lokasi cagar budaya yang penuh nilai kebudayaan yang tetap bisa di perdagangkan.
Walaupun sering kali menabrak norma agama pun tak menjadi soal, semua demi mendatangkan devisa US$ 20 milyar di sektor pariwisata ditahun ini, namun rencana ini gagal berantakan karena pandemi corona virus yang masih menyerang bangsa dan masih berkecamuk hingga detik ini. Termasuk sektor pariwisata terpukul telak, tak bisa lagi menjadi pundi pundi rupiah bagi bangsa ini.
Bahkan Economist Intelligence Unit (EIU) memprediksi, industri pariwisata tidak akan pulih hingga kuartal II-2021 dan menyebabkan kerugian secara global mencapai US$ 80 miliar atau menembus Rp 1.088 triliun (asumsi kurs Rp 13.600/US$). (cnbcindonesia.com).
Memang ditangan kapitalisme, sektor wisata dialih fungsi sebagai sektor komersialisasi sebesar-besaran, bahkan tak sedikit sektor wisata membawa dampak negatif seperti transfer budaya barat, perusakan moralitas generasi muda, pelemahan aqidah islamiyah hingga mengokohkan pemikiran barat sehingga bisa tetap melakukan penjajahan pemikiran agar leluasa mengeruk kekayaan strategis negeri ini. Sebagaimana ketangkasan dalam mencover sektor pariwisata kembali beroprasi di era new normal yang masih di tenggah pandemi covid-19, sudah tepatkah?
Sektor pariwisata akan segera bergerak kembali di tengah pandemik COVID-19. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sedang menyiapkan program Cleanliness, Health and Safety (CHS) yang akan jadi pedoman bagi sektor pariwisata dan ekonomi kreatif untuk kembali beroperasi meskipun di tengah wabah. Protokol tersebut nantinya akan dikeluarkan melalui Peraturan/Keputusan Menteri Kesehatan dalam waktu dekat. (IDNTIMES.COM)
Kapitalisme yang berasaskan sekulerisme, memisahkan agama dengan kehidupan memang berhasil menciptakan perdagangan pariwisata walau masih di pandemi covid-19 yang tetap mengancam hajat hidup orang banyak. Sehingga atmosfir yang di munculkan dengan new normal seakan masyarakat bisa bebas kembali mengakses tempat-tempat wisata sebagai ajang balas dendam saat di masa psbb.
Padahal jika mau jujur, tempat yang sejatinya menjadi rujukan utama itu adalah tempat-tempat ibadah sebagai perwujudan tobatan nasuhah secara Nasional guna untuk mendapatkan ampun dari Allah SWT hingga layak untuk diturunkan pertolongan Allah berupa dimusnakannya virus covid-19 dari muka bumi ini untuk selama-lamanya sehingga kita bisa hidup normal dengan sistem yang baru dan benar-benar normal.
Tapi sayangnya hal itu tak terjadi, bahkan pemerintah tetap mengaruskan opini dengan retorika manis seakan saat partisipasi masyarakat untuk kembali menikmati sektor pariwisata di anggap mampu mengenjot pertumbuhan ekonomi bangsa ini yang pada faktanya mengalami deprasi ekonomi akibat krisis berkepanjangan mulai sebelum covid-19 hingga saat ini, bahkan banyak pengamat ekonomi yang melampirkan hasil analisisnya bahwa ekonomi dunia akan mengalami kebangkrutan akibat mengadopsi ekonomi kapitalisme yang tak pernah kuat menahan inflasi hingga krisis ekonomi berkepanjangan. Dan sektor pariwisata maupun sektor lainnya tak akan sanggup mengatasi hal itu..!
Belum lagi tak ada jaminan dari siapapun saat rakyat mengakses sektor pariwisata mereka akan aman dari penyebaran covid-19 walaupun tentu akan di berlakukan protokol kesehatan di seluruh sektor wisata, namun hal itu tak menjadi jaminan aman dari covid-19. Karena sampai saat ini angka terjangkit atau penularan covid-19 masih melonjak naik dan masih menambah angka kematian akibat terpapar covid-19. Lantas masihkah pantas kita menikmati sektor pariwisata di tenggah kondisi yang belum stabil ini?
Apalagi semua sepakat bahwa ekonomi rakyat sedang mengalami kelesuan yang berkepanjangan maka tentu budget wisata tak perlu di angarkan (sebab tak ada angaran untuk itu) karena kebutuhan primer dan sekunder butuh di penuhi dengan layak. Walaupun kita masih hidup ditenggah pandemi covid-19, ada keluarga yang butuh di beri makan, minum, tempat tinggal yang memiliki akses air, listrik hingga wifi/ kuota internet yang wajib terpenuhi. jika seperti ini pantaskah kita berwisata ria demi menghibur diri tenggah problem panjang tak berkesudahan? Apakah wisata itu kebutuhan atau pelarian yang berujung mubajir anggaran juga mubajir waktu, bahkan ancaman baru karena masih di tengah covid-19?
Jelaslah sudah, bahwa ekonomi kapitalisme terbukti gagal dalam penyelesaian masalah apapun termasuk masalah covid-19 hingga pengahlian fungsi pariwisata. Bukan hanya itu bahkan sistem kapitalisme menjelma sebagai alat jajah bagi negara-negara manapun yang sudi mengkiblatkan pada liberalisme diseluruh sektor pemerintahannya. Sebagai ciri khas sistem ekonomi kapitalisme yang memang berasaskan pada nilai sekluerisme (memisahkan aturan agama pada aturan pemerintahan, aturan masyarakat bahkan mulai membatasi aturan individu dari hal-hal yang berbau agama).
Sehingga ekonomi kapitalisme akan dengan mudah merampok semua kekayaan strategis negeri jajahannya baik sumber daya alam, sumber daya manusia bahkan merampok orentasi kehidupan rakyatnya untuk terus tersetir dalam arus global kapitalisme yang berpedoman yang kaya makin kaya dan yang miskin tambah miskin.
Sembari terus menanamkan pemirikan-pemikiran rusak ketenggah-tenggah kaum muslim agar masih bisa tetap di kuasai. dan bukan hanya sektor pariwisata saja yang terciderai namun nyaris di seluruh sektor kini telah berwajah sama yakni wajah liberalisme yang jauh dari identitas sebagai muslim dan bersebrangan dengan ajaran islam, yang hakikatnya penghuni mayoritas bangsa ini.
Semoga sebelum nafas kita berakhir, ada kesempatan yang menyapa kita, untuk merasakan hidup dalam new sistem normal yakni syariah islam secara total dalam pemerintahan islam bernamakan khilafah, yang didalamnya akan terwujud gaya pemerintahan yang adil dan mencintai seluruh masyarakat atas dorongan iman dan taqwa.
Sehingga menjalankan roda pemerintahannya akan benar-benar termonitoring dalam sistem pengawasan terbaik yakni pengawasan Illahi Rabbi. sehingga seluruh kebijakan akan sesuai dengan garis islam dan sesuai dengan kebutuhan hajat hidup orang banyak. Dan para penguasa tak akan sewenang-wenang pada kewenangan, justru mengunakan amanah kepemimpinan sebagai perwujudan cinta dan kasih antara penguasa yang mencintai penuh rakyatnya dan begitupula sebaliknya.