Peran Media Dalam Negara Khilafah. Oleh: Siti Rima Sarinah, Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban.
Massa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Antikomunis memadati Tugu Kujang Kota Bogor, Jumat siang (3/7/2020). Mereka juga berkerumun sehingga membuat kepadatan di Jalan Pajajaran dan Jalan Otto Iskandardinata. Massa yang datang didominasi berpakaian putih dengan peci. Ada juga yang mengenakan seragam ormas tertentu. Berbagai poster dibentangkan, isinya antara lain menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) (KumparanNews, 3 Juli 2020).
Kemunculan RUU HIP menuai reaksi di tengah masyarakat, khususnya umat Islam, yang menolak keberadaan RUU tersebut. Reaksi yang dilakukan umat Islam karena kekhawatiran mereka terhadap ideologi Komunisme yang melatarbelakangi lahirnya RUU HIP. Ideologi ini menafikan keberadaan Sang Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan serta aturan yang berasal dari Tuhan.
Berbagai media massa meliputi aksi penolakan ini, namun sayangnya media memberitakan bukan tujuan atau isi dari aksi dilakukan oleh massa umat Islam. Justru yang menjadi sorotan media adalah massa yang berkumpul telah melanggar protokol kesehatan. Padahal sesungguhnya massa melakukan aksi ini disebabkan kegentingan yang memaksa. Aksi ini diharapkan agar pemerintah membatalkan RUU HIP dari prolegnas prioritas 2020.
Hal ini menunjukkan bahwa media massa tidak objektif dalam memandang fakta yang ada di masyarakat, dalam membuat berita. Objektivitas seharusnya menjadi landasan dalam menuangkan berita kepada masyarakat. Bukankah objektivitas dan netralitas menjadi dua hal yang sangat membanggakan bagi para awak media?. Jurnalis merasa terhormati ketika mereka mampu membuat berita yang objektif dan netral, atau dengan kata lain objektivitas dan netralitas sudah menjadi idealisme bagi mereka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa media massa saat ini berdiri di bawah bayang-bayang ideologi yang diterapkan, yaitu ideologi Kapitalis Sekuler. Sehingga media massa dalam mengelola berita banyak “ditunggangi” oleh kepentingan segelintir orang. Tarik menarik antara idealisme dan bisnis menjadi sesuatu yang tidak terelakkan. Begitu pentingnya peran media massa, menyebabkan sistem ini memperalat media untuk mengakomodir berbagai kepentingan penguasa dan pemilik modal.
Akhirnya, media massa mengalami kontradiksi sebagai institusi Kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal. Media massa berkembang diantara titik tolak kepentingan masyarakat dan negara sebelum akhirnya terhimpit di antara kepungan modal dan kekuasaan. Dalam masyarakat yang sistem sosial politiknya demokratis, akan menyediakan informasi yang layak bagi rakyatnya. Sebaliknya dalam masyarakat yang tidak demokratis , sistem komunikasi (dalam hal ini media massa) yang ada digunakan untuk mempertahankan kekuasaannya.
Penguasaan terhadap media massa adalah aspek utama penguasaan politik dan ekonomi. Secara politik kalangan industri media dan komunikasi dapat menentang, bahkan sekeras mungkin berupaya mengurangi berbagai intervensi negara dalam aktivitas mereka. Kekuatan ini akan bereaksi apabila pemerintah berencana mengeluarkan suatu usulan atau kebijakan terhadap sistem media dan komunikasi.
Namun ketika modal dan kekuasaan mengepung media massa, akan terjadi pembungkaman terhadap media untuk menyampaikan fakta yang sebenarnya terjadi. Dan media yang dikendalikan dengan memanfaatkan kepemilikan modal untuk mengontrol isi media, sehingga media massa akan merekayasa berita sesuai keinginan rezim dan para kapital. Hal ini terbukti dalam peliputan media terhadap aksi penilakan RUU HIP, yang mengusik penguasa dalam membuat berbagai UU dan kebijakan.
Inilah yang terjadi jika media massa berada dalam kungkungan sistem yang batil. Media massa tidak bisa menjalankan tugasnya untuk menyuguhkan berita dan informasi yang benar kepada masyarakat. Sehingga masyarakat cenderung mendapatkan berita bohong/hoaks, diakibatkan adanya tekanan dan intimidasi yang dialami oleh awak media.
Berbeda halnya dalam Islam, media yang didaulat sebagai sarana menebar kebaikan, alat kontrol dan sarana syiar dakwah Islam baik di dalam maupun ke luar negeri. Dengan kata lain, media memiliki peran politis dan strategis sebagai benteng penjaga umat dan negara, sekaligus sebagai sarana edukasi umat dalam kerangka mendukung penerapan dan pelaksanaan hukum- hukum syariat Islam.
Peluang penyelewengan fungsi media sebagai alat penguasa maupun alat propaganda kebatilan pun ditutup oleh paradigma Islam tentang fungsi kekuasaan atau kepemimpinan itu sendiri. Dimana dalam Islam kekuasaan dipandang sebagai amanah berdimensi dunia akhirat. Bukan alat untuk meraup keuntungan materi untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Adanya kontrol negara dalam Islam yang sangat ketat terhadap kerja media. Dan negara memastikan kerja media tidak keluar dari koridor hukum syariat Islam. Lembaga penerangan akan sentiasa memastikan konten berita tak akan membawa kemudaratan bagi umat, tersebarnya pemikiran asing dan budaya yang menyimpang dari hukum Islam. Dan negara akan memberi sanksi tegas kepada pelaku pelanggaran.
Meskipun ada kontrol ketat terhadap kerja media, namun tak ada kesan negara otoriter dan mengekang kebebasan media. Atau kesan media dipaksa mengabdi pada rezim penguasa. Karena semua memahami tentang kewajiban dan urgensi melangsungkan kehidupan Islam melalui penerapan Islam kafah di tengah-tengah umat. Dan mengokohkan fungsi negara sebagai pengurus dan perisai umat.
Paradigma seperti inilah yang tidak muncul dalam sistem yang mengagung-agungkan kebebasan. Sehingga umat hidup dalam kungkungan kerusakan dan kezaliman akibat hegemoni sistem Kapitalis Sekuler yang tengah melanda umat. Dikukuhkan dan dijaga oleh media sekuler milik mereka. Seruan penyadaran wajib ditujukan untuk mewujudkan media massa yang sesuai dengan ketentuan Islam. Dengan merealisasikan Khilafah Islam agar terwujud lembaga dan media massa Islam yang konstruktif pembangun peradaban hidup yang mulia. Wallahu a’lam