Dinasti Politik, Regenerasi Politik Berbalut Intrik. Oleh: Ammy Amelia, Pegiat Dakwah Literasi & Member Akademi Menulis Kreatif.
Dinasti politik merupakan istilah yang tidak asing lagi di dunia perpolitikan. Kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terikat dalam garis genealogis ini, sudah menjadi hal yang lumrah bahkan dianggap sebagai Tren Politik.
Fenomena dinasti politik di Indonesia, terlihat nyata dengan tampilnya putra sulung Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, yang maju dalam pemilihan wali kota Solo 2020. Diikuti pula oleh Bobby Nasution, menantu Presiden RI, yang tengah aktif untuk mendapatkan dukungan parpol agar lolos di pemilihan wali kota Medan 2020.
Tak sedikit yang menuai kritik, atas sikap Presiden Jokowi yang begitu masif menggiring anggota keluarganya untuk ikut duduk dalam kursi pemerintahan. Dilansir dari Kompas.com (18/07/2020), salah satu pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, menyatakan bahwa Presiden Jokowi sedang membangun dinasti politik selama masa jabatannya.
Sejatinya, dinasti politik hanya akan menjadi penghalang dalam mewujudkan tujuan negara itu sendiri. Karena sistem pemerintahan dikelola oleh orang-orang yang dipilih atas ikatan keluarga, bukan berdasarkan kompetensi dan kapabilitas yang dimiliki. Sehingga bukanlah suatu keniscayaan jika pemerintahan yang dibangun di atas kepentingan pribadi ini, akan melahirkan banyak penyimpangan kekuasaan. Inilah yang sedang terjadi di negeri ini. Maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi hal yang biasa, padahal dampak yang dihasilkan begitu krusial.
Negara tak lagi melaksanakan perannya sebagai pelindung rakyat, apalagi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Pemerintahan dijalankan hanya untuk melindungi dan memenuhi kehendak pribadi. Sumber daya alam yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, dialihfungsikan menjadi sumber pendapatan untuk kantong pribadi. Proses pemerintahan hanya dijadikan sebagai sarana untuk memuaskan naluri keserakahan para pelaku di dalamnya. Sedangkan rakyat hanya berperan sebagai penonton, bahkan korban yang tak bisa melawan.
Namun nyatanya, dinasti politik bukanlah pangkal masalah penyebab terjadinya berbagai penyimpangan kekuasaan di dalam pemerintahan. Dinasti politik hanyalah implikasi yang bersifat sistemik dari ideologi Kapitalisme dengan ide pemikiran sekuler. Sekulerisme yang berarti memisahkan agama dari kehidupan, menjunjung tinggi nilai kebebasan individu berdasarkan asas manfaat. Keinginan untuk memiliki jabatan dan kekuasaan demi kepentingan pribadi tanpa diikuti ketentuan hukum syariat, jelas lahir dari pemikiran yang menjadikan agama hanya sebatas simbol ritual ibadah saja. Akibatnya banyak terjadi ketimpangan disana-sini. Pemimpin dengan bebas menentukan arah kekuasaannya, memimpin rakyat sesuai otoritas dan kepentingan pribadi semata.
Padahal dalam Islam, segala aktivitas diatur secara sempurna. Tidak terkecuali dalam sistem pemerintahannya. Dalam sistem pemerintahan Islam, seorang pemimpin diangkat melalui pembai’atan. Bai’at ditetapkan menjadi hukum untuk melegalisasi kekuasaan. Tidak pernah ada sistem pewarisan kekuasaan di dalam sistem pemerintahan Islam. Karena terpilihnya seorang pemimpin, wajib memenuhi 7 syarat in’iqod sebagai berikut:
1. Muslim
2. Laki-laki
3. Baligh
4. Berakal
5. Adil
6. Merdeka
7. Mampu
Itulah syarat mutlak pemimpin dalam sistem pemerintahan Islam. Seorang pemimpin dengan kapabilitas tinggi, yang mengutamakan nilai ruhiyah berupa ketakwaan terhadap Allah Swt. Kepemimpinan dalam rangka menerapkan dan menjamin terlaksananya hukum syariat. Serta menjalankan kepemimpinannya sebagai amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Sang Pemilik Aturan.
Wallahu’alam bishawab.