Timses yang Berbaju Ulama. Oleh: Irfaan Sanoesi, Koordinator Jaringan Islam Kebangsaan.
Kelucuan tengah dipertontonkan oleh sekelompok yang mengaku mewakili umat Islam. Tak hanya itu mereka mendeklarasikan diri sebagai ulama.
Ya mungkin di antara 500 orang yang hadir terdapat “ulama” yang memiliki jamaah dan santri. Namun jika ulama itu hanya menyibukkan diri mengurus hasil penghitungan pemilu, bukan ulama melainkan timses namanya.
Ulama itu waratsatul anbiya, pewaris para Nabi. Nabi diutus untuk meluruskan moral umatnya. Dakwahnya jelas menyampaikan tauhid yang memuliakan nilai-nilai kemanusiaan.
Berbeda dengan fenomena “ulama” sekarang. Mereka mendegradasikan fungsi & tujuan ulama sebatas merespon hasil pemilu. Dengan dalih banyak kecurangan, tak segan-segan mengatasnamakan ulama untuk mengelabui umat.
Simbol-simbol agama menjadi legitimasi pembenaran atas hasil ijtima ulama yang mengajak untuk mendelegitimasi hasil pemilu. Berikut indikator hasil ijtima ulama 3 kenapa ingin mendelegitimasi hasil pemilu.
Pertama disebutkan bahwa mereka menyimpulkan sendiri terjadi kecurangan dan kejahatan pemilu secara terstruktur, sistematis dan massif tanpa membeberkan argumentasi dan bukti kecurangan yang sistematis, terstruktur dan massif tersebut.
Kedua, memaksa Bawaslu dan KPU mendiskualifikasi hasil pemilu. Ketiga, menyerukan masyarakat untuk membatalkan atau mendiskualifikasi pemenang pemilu.
Bagi mereka poin-poin di atas merupakan bentuk amar ma’ruf nahy munkar yang konstitusional. Namun hakikatnya mereka telah mengadu domba antar sesama anak bangsa yang dapat mengoyak persatuan dan persaudaraan.
Amar ma’ruf nahy munkar itu tidak bisa dikerjakan dengan menimbulkan kemunkaran yang lain. Justru adanya seruan menolak hasil pemilu dapat melahirkan kemungkaran yang baru.
Para “ulama” ijtima ulama III melupakan adagium di pesantren ” dar’ul mafasid, muqaddamun ‘ala jalbil masalih”. Menolak kemadaratan didahulukan dari pada mengambil keuntungan.
Jika terjadi kecurangan, negara telah membuat saluran-saluran konstitusional bagi masyarakat dan peserta pemilu untuk memperkarakan temuan-temuan kecurangan yang ditemukan di lapangan.
Rasanya tidak adil kejadian di lapangan kecurangan itu terjadi di dua kubu yang kasusnya kasuistik tapi yang dituding melakukan kecurangan ditujukan hanya kepada pihak 01. Tak hanya itu hiperbola kecurangan pun digaungkan untuk menutupi kecurangan di kubunya sendiri.
Tidak bisa mengklaim sendiri, menghitung sendiri, mendeklarasikan sendiri lalu menuduh yang lain curang.
Ijtima ulama tak lain hanya sebatas simbol agama untuk meraih tujuan politis karena ulama yang sebenar-benarnya akan menghindari kemadaratan yang lebih besar dari pada mengambil keuntungan sesaatnya.
Mendelegitimasi pemilu mungkin sebuah keuntungan bagi kelompok ijtima ulama, tapi mengindari perpecahan dan konflik sosial jauh lebih maslahat demi kokohnya NKRI.