oleh

Bangsa Indonesia Seperti Kal Jasadi Wahid, Tapi Gaduh Terus. Kenapa?

Bangsa Indonesia seperti kal Jasadi Wahid, Tapi Gaduh terus. Kenapa? Oleh: Tubagus Soleh, Ketum Babad Banten.

Menjadi Bangsa Indonesia itu melalui proses panjang. Bahkan harus ada sumpah seluruh bangsa Indonesia yang diwakili oleh para Pemuda waktu itu. Tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928. Ternyata Sumpah para Pemuda sangat sakti. Terbukti setelah proses pemuda bersumpah ; satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa Yaitu Indonesia proses menjadi bangsa Indonesia berjalan sangat efektif.

Para pejuang khususnya Kaum muda merasakan ikatan kebatinan yang kuat sebagai saudara senasib dan sepenanggungan. Para pemuda Pejuang tidak lagi terjebak pada semangat kesukuan, agama, dan ras. Tapi pada satu semangat keindonesiaan yang baru saja dicetuskan dalam sebuah sumpah pemuda yang sangat sakral.

Sumpah pemuda itulah ikatan pertama kebangsaan kita yang bernama Indonesia. Sebelum ada sumpah pemuda, para pejuang bergerak atas semangat kedaerahan. Hanya pergerakan Syarikat Islam yang dipelopori Raden Mas HOS Cokroaminoto yang berskala Nasional. Karena beliau menggunakan Agama Islam sebagai dasar perjuangannya yang dianut oleh mayoritas Bangsa Nusantara hingga kini.

Baca Juga :  Santri, Ulama dan Negarawan, Sebuah Opini Tubagus Soleh

Syarikat Islam lah yang mendidik dan Mengkader Pemuda-Pemuda pada waktu itu agar memiliki ruh perjuangan dalam membebaskan bangsa yang ditindas secara semena-mena oleh para Kolonialis Barat dengan menghisap penghidupan rakyat Indonesia hingga ke tulang sumsumnya. Soekarno, Samaun dan Kartosoewirjo merupakan anak didik RM HOS Cokroaminoto yang paling menonjol dengan basis ideologis yang berbeda. Soekarno terkenal dengan aliran ideologi nasionalisme, Semaun dengan Ideologi Komunisme dan Kartosoewirjo dengan Ideologi Islamisme.

Ketiga anak didik RM HOS Cokroaminoto itulah yang hingga kini sangat mempengaruhi pemikiran anak-anak bangsa. Nasionalisme, Komunisme serta Islamisme hingga kini masih bertarung untuk mendapatkan supremasi tertinggi di bangsa ini.

Meskipun secara institusi komunisme sudah tidak ada lagi di jagad politik bangsa namun gagasan komunisme masih saja dikunyah oleh banyak anak-anak muda kita. Karena memang gagasan komunisme selalu menarik untuk dijadikan alat pisau analisa sosial yang tajam. Apalagi dalam kondisi sosial politik bangsa saat ini seperti ada jurang ketimpangan sosial yang sangat menganga.

Baca Juga :  Babad Banten Kutuk Pembantaian Umat Islam di Masjid Selandia Baru

Begitu juga Islamisme, akan terus menjadi alat perjuangan menegakkan nilai-nilai Islam dalam Politik kebangsaan kita. Meskipun hingga kini Parpol yang mengusung Ideologi Islam tidak pernah mendapatkan dukungan yang signifikan dari mayoritas Rakyat Indonesia yang notebene adalah Beragama Islam. Saya heran juga, kenapa Parpol Islam tidak mendapatkan dukungan Mayoritas Umat Islam? Bahkan sejak kekalahan di Majelis Konstituante, Parpol Islam tidak pernah mendapat dukungan yang signifikan hingga zaman reformasi kini.

Sedangkan Nasionalisme, masih berjaya memegang tampuk kekuasaan sejak zaman Soekarno, Soeharto hingga zaman Jokowi sekarang.

Bila kita menelisik, sesungguhnya semua aliran ideologi yang menjadi rujukan anak-anak bangsa bersumber dari mentor yang sama yaitu RM HOS Cokroaminoto. Bahkan semuanya sesungguhnya sudah melebur menjadi satu. Dari Sumpah Pemuda tahun 1928, hingga Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan kita sudah putuskan Pancasila sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 adalah Dasar Negara. Tuntas secara politik. Selesai secara konstitusi. Lalu mengapa sekarang selalu saja ada yang ngotak-ngatik dan terus dikutakkatik bahkan kini secara telanjang dibenturkan dengan Agama seperti yang diucapkan oleh Kepala BPIP yang baru saja dilantik oleh Presiden Jokowi.

Baca Juga :  Kalung Anti Corona, Efektifkah Untuk Covid -19 ? Opini Mariana

Ucapan kepala BPIP yang begitu, bisa saja menjadi pemicu kegaduhan sosial politik dalam skala besar dan Nasional. Bahkan bisa berpotensi menghilangkan kepercayaan Publik kepada BPIP. Akibatnya bisa fatal. Publik tidak percaya terhadap kerja-kerja BPIP dalam menjalankan tugasnya membumikan Pancasila di tataran akar rumput dan rakyat secara keseluruhan.

Jiwa kebangsaan dan Keindonesiaan kita sebagai bangsa sesungguhnya sudah kokoh. Bahkan sudah seperti Kal Jasadi Wahid. Satu Tubuh yang saling menyatu. Jangan direcoki oleh kegenitan intelektual yang tidak produktif dari para pejabat. Karena rakyat tidak butuh itu.

Loading...

Baca Juga