Polemik Zonasi di Tengah Pandemi Bikin Keki. Oleh: Ummi Atiyah, Pemerhati Pendidikan.
Dewasa ini masalah pendidikan masih sering dijumpai diberbagai daerah. Baik secara langsung maupun melalui media elektronik, seperti televisi, handphone dan lain sebagainya. Seharusnya seluruh anak Indonesia mendapatkan hak pendidikan yang sama. Belum usai masalah Covid-19 kini masyarakat kembali dibuat resah terutama para orang tua.
Dalam dunia pendidikan tak hentinya para orang tua dihadapakan oada kebijakan-kebijakan yang membingungkan, seperti kebijakan zonasi dalam menentukan penerimaan calon peserta didik baru.
Seperti yang baru-baru ini terjadi di DKI Jakarta, PPDB zonasi diprotes lantaran lebih mempertimbangkan faktor usia ketimbang jarak maupun prestasi. Padahal tahun-tahun sebelumnya tidak demikian.
Di lansir, kompas.tv – Sejumlah orang tua murid mempermasalahkan aturan penerimaan siswa baru sistem zonasi yang mengutamakan usia. Memicu protes keras orang tua murid, hal ini terjadi saat konferensi pers Dinas Pendidikan DKI Jakarta di kantor Disdik DKI, Kuningan Jakarta Selatan, pada hari jum’at pagi tanggal (26/6/2020).
Meski ada jalur prestasi, mereka tetap khawatir karena kuota untuk jalur tersebut minim. Sebagian akhirnya harus bersiap mencari sekolah swasta jika sekolah negeri dari zona mereka tak ada yang menampung. Padahal biaya untuk bersekolah swasta tentu memberatkan.
Mengenai hal tersebut, Komnas Anak mendesak PPDB DKI Jakarta diulang kembali karena mendapat banyak laporan dan protes dari orang tua siswa terhadap mekanisme pembatasan usia pada PPDB.
Komisi Nasional Perlindungan Anak meminta Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta tahun ini dibatalkan dan mengulang kembali proses penerimaan murid. Menurutnya kebijakan batas usia yang diterapkan Dinas Pendidikan DKI Jakarta dinilai bertentangan dengan Pemendikbud Nomor 44 tahun 2019. Sumber vivanews.com , 29/06/2020
Sementara ini penerapan Pemendikbud Nomot 44 tahun 2019 ditempat yang lain seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Batam, Riau, itu tidak bermasalah, karena menerapkan pasal 25 ayat 1 yang mengedepankan afirmasi zonasi, jarak dan paling akhir nanti usia untuk kuota berikutnya.
Sudah semestinya Pemerintah memikirkan dampak psikis dan sosial dari anak-anak, mereka menjadi tidak percaya pada pemerintah dan merasa sia-sia belajar keras karena tidak dapat masuk ke sekolah yang mereka inginkan. Apa salah anak-anak yang berusia lebih muda sehingga tidak dapat kesempatan sekolah yang sama. Kebijakan sistem zonasi usia tersebut bukanlah menjadi solusi penyelesaian masalah pendidikan, namun justru menciptakan bentuk diskriminasi baru.
Polemik PPDB zonasi tahun ini benar-benar makin merisaukan banyak pihak. Minimnya sosialisasi aturan PPDB juga cukup mengagetkan orang tua siswa yang sudah jauh-jauh hari mempersiapkan anak-anaknya untuk mendapatk sekolah yang diinginkan. Saat bukan pandemi saja sudah sarat masalah apalagi kini ditengah pandemi.
Tak hanya itu, daerah lain pun mengeluhkan PPDB zonasi yang banyak kendala. Baik karena faktor teknis, seperti kesulitan jaringan internet, persoalan akun, tak mendapat verifikasi dari sekolah dan sebagainya maupun terkait aturan zonasi. Akhirnya banyak orang tua yang harus datang kesekolah, tentu dengan rasa was-was terhadap penularan covid-19.
Inilah potret nyata kegagalan negara menjamin layanan pendidikan. Pemberlakuan kuota karena terbatasnya kemampuan menyediakan fasilitas pendidikan melahirkan sistem zonasi, menghantar pada beragam krisis setiap tahunnya dan menelantarkan hak anak umat.
Apa mau dikata, inilah wajah pendidikan dalam sistem kapitalis. Sengkarut PPDB zonasi menguatkan pesan betapa lemahnya negara. Negara seharusnya hadir secara penuh dalam prnyelenggaraan pendidikan dan tidak tergantung pada swasta, sebab negara berkewajiban menyediakan sekolah dan semua kelengkapannya sesuai kebutuhan.
Dalam sistem kapitalis Pendidikan kerap di jadikan aset (alat) pengeruk keuntungan. Keterlibatan swasta dalam dunia pendidikan kebanyakan di dasari motivasi mencari keuntungan. Maka berharap pendidikan murah dan berkualitas pada sistem ini tentu sulit. Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam.
Berbeda dengan sistem kapitalis, dalam sistem Islam kepala negara (Khalifah) adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negara. Negara hadir sebagai pelaksana (operator, bukan regulator atau fasilitator) dalam pelayanan pendidikan.
Hal ini karena Islam memandatkan kepada negara berupa tanggung jawab pengurusan seluruh urusan umat. Sebagaimana dalam hadits dinyatakan:
“Seorang imam (Khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggug jawaban atas urusan rakyatnya.”
(HR. Al-Bukhari)
Dengan peran utama ini, negara bertanggung jawab untuk memberikan sarana prasarana, baik gedung sekolah beserta seluruh kelengkapannya, guru kompeten, kurikulum sahih, maupun konsep tata kelola sekolahnya.
Negara juga harus memastikan setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pendidikan secara mudah sesuai kemampuannya. Dalam hal ini, birokrasi negara dalam sistem Islam berpegang kepada tiga prinsip: kesadaran aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalitas orang yang mengurusi. Dengan prinsip ini kerumitan mendaftar sekolah sangat bisa diminimalisir.
Sebagai operator (pelaksana tanggung jawab), negara tidak boleh menyerahkan urusannya kepada swasta seraya berlepas tanggung jawab. Dalam Islam, sekolah swasta memang diberi kesempatan untuk hadir memberikan kontribusi amal sahih dibidang pendidikan.
Mereka boleh mendirikan sekolah, lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal. Namun keberadaan mereka tidak sampai memgambil alih dan menggeser tanggung jawab negara.
Karena dalam Islam tak perlu aturan zonasi. Berlimpahnya sekolah dengan kualitas terbaik yang diberikan negara cukup memberi ruang kepada seluruh warga negara untuk memilih sekolah sesuai dengan minatnya.
Dalam sistem Islam juga senantiasa membangun suasana takwa warga negaranya. Negara akan terus membangun paradigma pendidikan sahih ditengah-tengah masyarakat. Sehingga masyarakat tidak mispersepsi tentang pendidikan. Mereka hanya mengejar capaian sahih dari proses pendidikan. Yakni berlomba-lomba mencari derajat tinggi disisi Allah SWT melalui ilmu yang diraihnya.
Tentu, inilah keberkahan karena semua pengaturan diserahkan kepada Allah SWT sebagai satu-satunya zat yang layak mengatur kehidupan manusia.
Wallahu A’lam bisawwab