SUARAKEADILAN.ID – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menuturkan seiring perkembangan zaman, bangsa Indonesia akan selalu dihadapkan pada dinamika tantangan kehidupan kebangsaan. Kedepan, bukan tidak mungkin, generasi penerus bangsa akan mempunyai persepsi dan perspektif yang berbeda dalam memaknai peradaban di masa sekarang, termasuk dalam memaknai narasi Konstitusi.
“Idealnya, konstitusi yang kita bangun dan perjuangkan adalah Konstitusi yang ‘hidup’ (living constitution) dan yang ‘bekerja’ (working constitution). Konstitusi yang hidup adalah Konstitusi yang mampu menjawab segala tantangan dan dinamika zaman. Konstitusi yang ‘bekerja’ adalah Konstitusi yang benar-benar dijadikan rujukan dan dilaksanakan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” ujar Bamsoet usai Seminar Nasional ‘Aktualisasi UUD NRI 1945 Dalam Penyelenggaraan Negara: 23 Tahun Reformasi’ yang diselenggarakan Laboratorium Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Badan Pengkajian MPR RI dan Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia secara daring, di Jakarta, Senin (13/12/21).
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, karena Konstitusi terikat oleh realitas zaman, maka agar ‘hidup’ dan ‘bekerja’, Konstitusi tidak boleh
‘anti’ terhadap perubahan. Perubahan zaman adalah sebuah kensicayaan yang tidak akan mungkin dihindarkan.
“Tugas kita bersama memastikan bahwa
perubahan tersebut adalah perubahan menuju ke arah perbaikan. Tentunya, dengan mengedepankan sikap kenegarawanan, menjunjung tinggi kehendak daulat rakyat, serta memastikan kelestarian nilai-nilai luhur yang menjadi original intent para founding fathers dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini memaparkan, dari tahun 1999 hingga 2002, MPR telah melakukan empat kali amendemen. Di satu sisi, perubahan Konstitusi dinilai telah membawa angin segar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembatasan masa jabatan presiden secara tegas, pemilihan presiden yang dilaksanakan secara langsung, dan ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur dalam Bab tersendiri, adalah beberapa aspek yang dianggap sebagai kemajuan dalam kehidupan demokrasi di tanah air.
“Di sisi lain, sejumlah kalangan menilai masih terdapat kelemahan sistematika dan substansi pada Konstitusi pasca amendemen. Persoalan mengenai kedudukan dan kewenangan lembaga negara juga masih menyisakan problematika tersendiri. Ditambah lagi, kenyataan bahwa perubahan Konstitusi tidak serta-merta menumbuhkan budaya taat berkonstitusi, atau menjamin segala peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar, sudah sejalan dengan Konstitusi,” jelas Bamsoet.
Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) menambahkan, dalam konsepsi negara demokratis, amendemen Konstitusi bukanlah sesuatu yang tabu. Bahkan negara Amerika Serikat yang telah sekian lama menjadi rujukan global dalam implementasi sistem demokrasi, juga telah beberapa kali melakukan amendemen.
“Sejak tahun 1789, ribuan kali upaya amendemen telah diusulkan melalui Komite Kongres Amerika Serikat, dan ratusan kali usulan amendemen disampaikan pada setiap sesi Kongres. Dari jumlah itu, Kongres Amerika secara resmi telah mengajukan 33 kali amendemen Konstitusi, dan hasilnya sebanyak 27 kali amendemen telah diratifikasi oleh negara-negara bagian,” pungkas Bamsoet. (RED)