oleh

Indonesia Masih Pandemi, Pilkada Harus Tetap Milih, Opini Nurhayati

Indonesia Masih Pandemi, Pilkada Harus Tetap Milih

Oleh: Nurhayati (Pegiat Sosial Media)

Pandemi Covid-19 yang masih mewabah di Indonesia nyatanya tak mengubah keputusan pemerintah untuk tetap meslaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Di tengah kondisi kesehatan Indonesia yang kian memburuk, tenaga medis berjuang mati-matian menyelamatkan negeri dari keterpurukan akibat pandemi, pemerintah tetap menjadwal ulang pemilihan kepala daerah yang tercantum pada UU No 10 Tahun 2016.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menetapkan tahapan penyelenggaraan Pilkada disesuaikan dengan penerapan sejumlah protokol kesehatan. di era pandemi Covid-19. Keputusan tersebut berdasarkan pada Peraturan KPU (PKPU) No 5 Tahun 2020 mengenai perubahan ketiga atas PKPU No 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada Tahun 2020. Aturan ini dibentuk untuk merinci tahapan Pilkada serentak tahun 2020 yang sempat tertunda selama 3 bulan imbas dari pandemi Covid-19 (cnnindonesia.com, 16/6/2020).

Salah satu alasan yang menguatkan dilanjutkannya pelaksanaan Pilkada 2020 adalah agar tak banyak kekosongan jabatan. Karena saat posisi kepala daerah diisi oleh pelaksana tugas kepala daerah, bukan hanya legitimasi tak kuat dalam menjalankan roda kepemerintahan, tapi juga lemah dalam eksekusi kebijakan penanganan Covid-19 didaerahnya masing-masing (timesindonesia.co.id, 18/6/2020).

Baca Juga :  Pak Jokowi, Kapan Jalur Commuter Line Dari Rangkasbitung Hingga ke Merak Diaktifkan?

Kondisi ini memunculkan dilema. Berdasarkan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 dalam perkara permohonan Pengujian UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, masa jabatan kepala daerah dalam satu periode adalah lima tahun. Berdasarkan amanat tersebut, maka selepas lima tahun kepala daerah harus dipilih kembali melalui proses pilkada.

Akan tetapi di tengah kondisi pandemi yang juga bertepatan dengan pilkada tahun 2020, kesiapan Indonesia menggelar pesta demokrasi bertajuk Pilkada sangat dipertanyakan. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa pertarungan merebut kursi kekuasaan membutuhkan mahar politik yang tak sedikit. Sedangkan perekonomian Indonesia saat ini sedang goyah akibat pandemi yang menimpa sejak bulan Maret lalu.

Dalam kanal youtube Refly Harun berjudul “Refly Harun vs Rizal Ramli: Demokrasi Kriminal” yang diunggah pada Sabtu, 27 Juni 2020, Rizal menceritakan pengalamannya yang pernah ditawari untuk didukung menjadi presiden, tetapi ia tak sanggup karena harus mengeluarkan biaya hingga Rp 1,5 triliun untuk membayar partai-partai pendukung (cirebon.com, 28/6/2020).

Dalam Diskusi Publik Topic of the Week bertajuk “Refleksi Malari: Ganti Nakhkoda Negeri?”, Dr Rizal Ramli menyampaikan demokrasi Indonesia merupakan demokrasi kriminal karena terlalu mengikuti sistem politik AS. Akibatnya, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) semakin banyak, bukannya malah berkurang (beritasatu.com, 15/1/2020).

Baca Juga :  Memusuhi Khilafah Adalah Penyesalan Terbesar Jokowi

Mantan aktivis mahasiswa yang pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Gus Dur tersebut mengungkapkan korupsi dalam partai politik berawal dari upeti yang terjadi saat Pilkada maupun Pilpres. Dari upeti-upeti itu dimulailah “politik uang”. Setelah menjabat, mereka lupakan rakyat karena sibuk menjadi begal untuk kembalikan uang ke sponsor sewa bus partai, perkaya diri dan keluarganya (indonews.id, 4/5/2020).

Demikianlah dinamika pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi yang akan selalu berulang setiap memasuki periode baru. Pemilihan pemimpin merupakan perkara upaya memperkaya diri, tak pernah tulus untuk memimpin rakyat demi kesejahteraan bangsa. Persoalan ini semakin runyam ketika peralihan kepemimpinan terjadi dimasa pandemi.

Dengan mahar politik yang mencapai triliunan rupiah, berpotensi terjadinya korupsi dan penyalahgunaan uang rakyat, pada kondisi rakyat membutuhkan perhatian lebih karena terserang virus corona, bijakkah sikap pemerintah dengan tetap melanjutkan pilkada tahun 2020? Meski alasannya karena kekosongan jabatan dan kelemahan kinerja pelaksana tugas kepala daerah.

Untuk kesekian kalinya pemerintah menomorduakan masalah pandemi, memprioritaskan hal-hal seperti Pilkada, UU Minerba, RUU HIP, dan sejenisnya yang lebih mendatangkan keuntungan. Hal yang sangat wajar terjadi dalam sistem demokrasi. Dimana logika berfikir yang digunakan adalah landasan kepentingan, bukan kesejahteraan. Padahal justru sistem inilah yang membuat keadaan semakin terpuruk.

Baca Juga :  Logika Agama Mencari Sang Pencipta Lebih Penting Dari Lailatul Qadar

Sistem ini pula yang membuat pemerintah menyibukkan diri dengan hal-hal yang semestinya bisa ditunda karena masalah lain yang lebih urgen untuk diperhatikan, yaitu menyelamatkan rakyat dari pandemi Covid-19. Sejatinya, sistem ini bukanlah sistem ideal yang layak diterapkan oleh manusia. Sebab telah berkali-kali membuat rakyat kecewa.

Sebelum pandemi saja, pemilihan pemimpin kerap memunculkan berbagai masalah dengan iming-iming janji yang berakhir memalak hak rakyat. Apalagi dikondisi hari ini, sama saja membahayakan nyawa rakyat demi segelintir orang yang katanya akan memimpin rakyat, nyatanya lagi-lagi menyalahgunakan kepercayaan rakyat.

Kondisi memiriskan hingga hari ini, tak lain adalah buah tangan penerapan sistem demokrasi dengan ideologi kapitalismenya. Pangkal dari berbagai masalah yang tak kunjung usai, yang selalu menjadikan rakyat sebagai pihak korban dan tersakiti. Selama sistem ini masih bercokol di negeri ini, selama itu pula berbagai problematika di negeri ini ibarat lingkaran setan. Selalu dan selalu memunculkan masalah dan terlibat masalah. Wallahu’alam.

Loading...

Baca Juga