oleh

Nestapa Tenaga Kesehatan Di Era Covid-19. Opini Djumriah Lina Johan

Nestapa Tenaga Kesehatan Di Era Covid-19. Oleh: Djumriah Lina Johan, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam.

Kisah pilu tenaga kesehatan di negeri ini kian menjadi. Sebagaimana dilansir dari Republika.co.id pada Kamis (9/7/2020) penyaluran insentif nakes sempat tersendat menuju sasaran karena terdapat aturan yang belum mendukung. Hal itu banyak dikeluhkan sejumlah tenaga kesehatan dan unsur terkait lainnya. Alur pencairan yang memiliki mata rantai panjang dan berbelit itu juga dikritik banyak pihak termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Sebelumnya, verifikasi dilakukan secara berjenjang mulai dari institusi tingkat paling bawah seperti Puskesmas/RS daerah, dinas kesehatan kabupaten/kota, kemudian ke dinas kesehatan provinsi, lalu ke Kementerian Kesehatan. Dokumen pengajuan itu kemudian diserahkan ke Kementerian Keuangan.

Seorang dokter di Makassar, Dokter Sugih Wibowo (37), tak menyangka diberi tanggung jawab merawat 190 pasien positif Covid-19 seorang diri. Sebanyak 190 pasien itu dirawat di Hotel Harper, Makassar, dan tergabung dalam program duta wisata Covid-19 Pemerintah Provinisi Sulawesi Selatan. Lantaran tugasnya, Sugih terpaksa meninggalkan istri dan anaknya yang berusia tiga bulan demi merawat ratusan pasien Covid-19. “Kalau terlalu rindu, saya pasti menangis. Saya juga kecewa, tidak berpikir diperlakukan seperti ini,” kata dia. (Kompas.com, Jumat, 3/7/2020)

Besar dan beratnya beban yang harus ditanggung oleh tenaga kesehatan dalam menangani pasien Covid-19 tidak sebanding dengan upah maupun perlakuan yang ia dapatkan dari pemerintah. Paling tidak ada empat hal yang perlu kita telaah bersama:

Baca Juga :  Kasus Covid-19, Kebijakan Pelonggaran Seharusnya Dikoreksi

Pertama, berbelit-belitnya birokrasi dalam pencairan insentif tenaga kesehatan menunjukkan kesalahan dalam aspek struktur administrasi negeri ini. Sejatinya ketika berbicara mengenai insentif yang telah dijanjikan untuk para pahlawan kesehatan, negara harus memberikan jaminan profesionalitas, birokrasi sederhana, serta bergerak cepat. Sebab, selain itu adalah hak tenaga kesehatan. Ia juga merupakan kewajiban bagi pemerintah.

Kedua, adanya fakta seorang dokter yang menangani 190 pasien sendiri memberikan gambaran jelas bahwa negeri ini kekurangan tenaga kesehatan. Banyaknya dokter, perawat, relawan, dan tenaga kesehatan lainnya yang berguguran di tengah wabah semakin memperparah perihnya kisah para pejuang di ranah kesehatan. Padahal untuk mencetak satu orang dokter saja cukup sulit. Mulai dari seleksi kecerdasan hingga keuangan yang mumpuni untuk bisa sekolah kedokteran.

Ketiga, kurangnya perhatian negara dalam penanganan wabah semakin parah dengan kebijakan new normal life. Hal ini pun menambah derita tenaga kesehatan yang minim personel, minim upah serta tunjangan. Juga minimnya waktu libur bersama keluarga.

Keempat, kezaliman yang menerpa kehidupan tenaga kesehatan akibat lemahnya fungsi negara dalam mengurusi nasib rakyatnya. Disebabkan oleh penghambaan negeri ini kepada sistem Kapitalisme Sekuler. Sistem ini hanya mementingkan keuntungan duniawi. Hanya hadir untuk mengakomodir kepentingan oligarki dan elite politik. Keselamatan nyawa rakyat dan kemaslahatan tenaga kesehatan adalah nomor kesekian yang harus dipenuhi. Bukan prioritas pertama dan utama. Inilah wajah buruk sistem hasil pemikiran manusia.

Baca Juga :  Ketika Dunia Melihat Kita. Opini Lulu Nugroho

Islam tidak hanya sebagai agama tetapi juga sebuah ideologi. Sebab, Islam memancarkan peraturan yang lahir dari akidah yang berfungsi untuk memecahkan dan mengatasi problematika kehidupan manusia. Menjelaskan tata cara pelaksanaan pemecahannya. Memelihara akidah serta mengemban ideologi ke seluruh dunia.

Terkait masalah tenaga kesehatan pun Islam memiliki solusinya. Karena ia adalah problem solving. Islam sangat menghargai dan memperhatikan nasib tenaga kesehatan dan masyarakat secara keseluruhan. Keemasan sistem kesehatan Islam diakui sendiri oleh sejarawan Barat Will Durant dalam The Story of Civilization. Dia menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa menarik bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarawan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”

Sistem kesehatan dalam Islam sendiri tersusun atas beberapa unsur utama (S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences), yaitu:
Pertama, peraturan yang komprehensif, meliputi hukum-hukum syariat Islam tentang kesehatan, kebijakan/manajemen kesehatan, administrasi kesehatan.
Kedua, sarana dan prasarana kesehatan yang memadai, meliputi Puskesmas dan rumah sakit dengan standar dan manajemen pengelolaannya, obat-obatan dengan industri farmasi, alat kesehatan dengan industri manufakturnya.
Ketiga, sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang memadai, meliputi dokter, paramedis, dan tenaga kesehatan lain dengan pusat pendidikan dan penelitiannya.
Keempat, pelayanan kesehatan yang memadai, bebas biaya, dan berkualitas. Hal ini hanya bisa direalisasikan jika ditunjang oleh sarana dan prasarana kesehatan dan modalitas pengobatan yang mencukupi, serta SDM yang profesional. Dukungan penelitian dan pendidikan kesehatan tentunya sangat diperlukan.

Baca Juga :  PBB Harus Bertanggung jawab Bila Terjadi Perang Amerika-China

Di dalam Islam, rekrutmen pegawai negeri tidak mengenal istilah honorer. Karena pegawai negeri akan direkrut sesuai kebutuhan riil negara untuk menjalankan semua pekerjaan administratif maupun pelayanan dalam jumlah yang mencukupi. Sehingga tidak akan didapati adanya kekurangan dokter, perawat, maupun tenaga kesehatan yang lain. Semua digaji dengan akad ijarah dengan gaji yang layak sesuai jenis pekerjaannya. Gaji tersebut diambil dari kas Baitulmal. Apabila didapati kas Baitulmal tidak mencukupi, maka akan ditarik dharibah/pajak yang bersifat temporer.

Dengan demikian, penerapan Islam secara menyeluruh hingga menyentuh sistem kesehatan telah terbukti mampu mewujudkan penghargaan tertinggi bagi tenaga kesehatan maupun masyarakat. Sehingga kebutuhan akan tegaknya hukum-hukum Islam di setiap lini kehidupan menjadi sebuah keharusan. Umat telah terlalu lama dizalimi dengan sistem buatan manusia. Sudah saatnya Islam kembali sebagai problem solver polemik kehidupan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Loading...

Baca Juga