oleh

Politisi Ambekan, Sebuah Opini Tubagus Soleh

Politisi Ambekan. Oleh: Tubagus Soleh, Ketua Badan Ideologi dan Kaderisasi PP GPI.

Pasca Pilpres dan Pileg, situasi politik malah semakin seru saja. Kita dipertontonkan akrobat politik yang semakin sembraut, menggemaskan dan jauh dari nilai nilai ksatria bangsa Nusantara. Padahal saat ini bangsa Indonesia sedang menjalankan Ibadah Shaum Ramadhan. Sepertinya tidak ada pengaruh apa apa terhadap prilaku politisi kita.

Saya melihatnya sangat miris. Demokrasi telah menjelma menjadi alat devide et impera. Padahal tujuan demokrasi begitu luhur. Sebagai sebuah sistem politik dan sosial, demokrasi memberikan kesempatan kepada siapapun untuk terlibat memberikan kontribusi terbaiknya bagi kemajuan bangsa.

Demokrasi sejati sangat memerlukan power of balance. Agar tidak terjadi penguasa yang tiranik. Rakyat pemegang kedaulatan harus menjadi garda terdepan dalam menjalankan fungsi kontrol yang kuat. Siapapun tidak boleh menjadi kuat se kuat kuatnya tanpa adanya kontrol yang kuat dari rakyat.

Bangsa kita memiliki pengalaman sejarah yang begitu kelam tentang penguasa tiranik. Mereka begitu karena tanpa kontrol yang kuat dari rakyat. Sehingga demokrasi sangat tergantung oleh mood sang penguasa saja. Sejarah kita mencatat pernah ada demokrasi terpimpin di zaman orla, demokrasi pancasila di era orba dan sekarang era demokrasi reformasi pasca ditumbangkannya rezim orba yang despotik oleh rakyat Indonesia yang berintikan mahasiswa.

Baca Juga :  Rusuh yang Berkepanjangan, Indikator Lemahnya Intelejen Kita?
Mestinya sejarah kelam masa lalu bangsa kita harus menjadi catatan penting kita dalam menegakan demokrasi yang sesungguhnya. Siapapun harus jujur, transparan, dan akuntabilitas serta bisa dipercaya dalam menjalankan proses demokrasi bangsa kita.

KPU sebagai perangkat pelaksana demokrasi harus bisa dipercaya semua pihak. Sedikit saja terindikasi berpihak maka akan sulit diterima sebagai perangkat demokrasi yang bisa dipercaya. Dampaknya akan terasa jelas: Rakyat tidak percaya dan menurunkan kualitas demokrasi itu sendiri. Dari sini turunannya akan panjang dan ribet. Sehingga menambah beban sosial bangsa yang tidak penting.

Namun juga harus disikapi secara adil, bila KPU terbukti dan meyakinkan telah menjalankan tugasnya sebagai perangkat teknis demokrasi yang Jujur dan adil maka sebagai rakyat pemilik kedaulatan bangsa harus bisa menerima hasil apapun yang terjadi. Kalah Menang dalam pertandingan merupakan hal yang lumrah. Demokrasi akan berkualitas tidak hanya karena melahirkan sang pemenang tapi juga bagi pihak kontestasi yang kalah mau mengakui kemenangan pihak lain. Karena itulah hasil akhir dari sikap rakyat yang harus dihormati bersama sama.

Baca Juga :  Kisruh PPDB, Negara Gagal Penuhi Pendidikan. Opini Ninik Purwanti

Politisi negarawan akan bersikap ksatria. Hasil pemilu merupakan cerminan nyata dukungan rakyat kepada dia. Bila kalah kecewa pasti. Apalagi demokrasi di negara kita berbiaya sangat tinggi dan mahal. Tentu saja bila tidak memiliki kekuatan mental sebagai kontestasi demokrasi bisa dipastikan akan mudah terjangkit penyakit stres dan depresi. Yang paling ringan akan terkena penyakit ambekan. Uring uringan.

Bagaimana jadinya bila sekaliber Tokoh yang memiliki pengaruh yang besar dan kuat bila ambekan ketika tujuannya tidak tercapai? Gejolak sosial pasti. Terjadi keresehan sosial pasti. Kita sudah menyaksikan sendiri fakta peristiwa akibat dari ketidaksiapan para tokoh pendukung salah satu kontestasi pilpres dalam menerima kekalahan. Tentu saja hal ini sangat kita sayangkan. Yang paling membuat kita miris adalah jargon jargon keagamaan yang selalu dijadikan narasi pembenaran terhadap aksi destruktik yang dipertontonkan.

Politisi ambekan sangat berbahaya bagi keutuhan dan kualitas demokrasi kita ke depan. Berdasarkan pengalaman ini saya kira perlu adanya seleksi ketat bagi orang orang yang mau terjun di bidang politik. Politik harus menjadi jalan mewah berkarpet merah bagi siapa saja yang mau berkiprah di dunia politik. Asal sudah memenuhi kriteria sebagai politisi negarawan orang tersebut bolehlah berkiprah di politik

Bukan seperti sekarang yang begitu gampangan menjadi politisi. Meskipun tidak memiliki kapasitas yang mumpuni, asal punya duit banyak boleh mencalegkan dan mencalonkan diri sebagai politisi. Hasilnya sudah kita lihat bersama selalu mengecawakan.

Baca Juga :  Panitia Muktamar Luar Biasa dan Milad Ke-75 GPI Audiensi Ke Wakil Gubernur DKI Jakarta

Aturan ketat untuk terjun di dunia politik harus segera dirumuskan dalam undang undang. Agar tidak semua orang berbondong bondong menjadi politisi karena menganggap menjadi politisi itu gampang. Politik dipandang sebagai lowongan pekerjaan. Tanpa mempertimbangkan kapasitas dan kualitas dirinya sendiri.

Disinilah kita harus kaji ulang sistem demokrasi kita yang tidak menghargai nilai nilai keilmuan dan ketaqwaan. Sehingga berdampak pada degradasi moral politisi itu sendiri. Sudah saatnya kita pertanyakan jargon setiap orang memiliki suara yang sama tanpa mengindahkan keilmuan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itu pun kalau demokrasi kita pengen berkualitas dan berkaromah.

Loading...

Baca Juga