Logika Agama Apa Dan Siapa kita Sebenarnya. Oleh: Subairi, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukhlisin DDI Paria.
Sesungguhnya tidak ada puncak kebahagiaan yang paling diincar dan dicari oleh manusia, kecuali meraih ridho Allah SWT. Untuk mendapatkannya, tangga yang harus ditempuh ialah mengenal Allah SWT, itu sendiri. Sedangkan untuk mengenal Allah SWT, para ulama menganjurkan kita agar mengenal diri kita sendiri. Terdapat postulat dalam dunia Islam yang sangat populer. “Man ‘arafa nafsahu fakad ‘arafa rabbahu”. Barangsiapa yang mengenal dirinya, akan mengenal tuhannya.
Setidaknya ada lima pertanyaan mendasar untuk bisa mengenali diri sendiri. Pertanyaan-pertanyaan ini harus kita temukan jawabannya secara hakiki dan pasti. Lima pertanyaan itu adalah siapakah kita? Dimana kita sekarang? Apa tugas pokok kita? Bagaimana cara melaksanakan tugas pokok itu? Dan apa pahala atau siksa hubungannya dengan tugas pokok yang diberlakukan kepada kita semua?
Kelima pertanyaan ini, kalau dijawab oleh logika kita, akan ada logika orang lain yang membantahnya. Kalau dijawab sesuai dengan pengalaman kita, pasti ada segudang pengalaman orang lain yang berbeda dengan pengalaman kita. Maka mari kita jawab dengan ajaran Islam atau dinul Islam.
Islam punya referensi utama, yaitu Al-Quranul Karim. Al-Quran itu diawali surah Al-Fatihah. Surah ini adalah preambule Al-quran atau garis-garis besar Al-Quran. Ini adalah jawaban yang pasti untuk menjawab tiap-tiap pertanyaan mendasar tadi.
Pertanyaan pertama siapakah kita? Dijawab oleh ayat bismillah dan alhamdulillah. Islam selalu mengajarkan kepada kita untuk mengawali segala sesuatu dengan basmalah. Kita juga ditekankan untuk mengakhiri dengan hamdalah.
Ini adalah ajaran yang harus kita renungkan setiap hari sebagai bagian dari akhlak Islam yang tinggi. Kalau direnungkan, maka ada makna yang harus kita ingat dalam hidup. Mengawali sesuatu dengan basmalah, artinya mengigatkan bahwa kita berasal dari Allah SWT. Sedangkan mengakhiri sesuatu dengan hamdalah, mengigatkan kepada kita bahwa kita akan berakhir. Dan berakhirnya kita hanya akan kembali kepada Allah SWT, tidak ada yang lain.
Inilah yang disebut sebagai makhluk. Diantara hukum yang berlaku pada makhluk adalah selalu terikat dengan hukum awal. Sesuatu yang terikat dengan hukum awal, dia akan terikat dengan hukum akhir. Yang berawal pasti akan berakhir, sesuatu yang berakhir pasti berawal. Inilah yang disebut sebagai makhluk.
Sedangkan kholik Allah SWT, adalah rabbul ‘alamin. Tuhan yang tidak berawal. Karena tidak berawal, maka ia tidak berakhir. Karena itu, para filosof mengartikan Allah SWT, sebagai zat Yang Maha Ada. Ada sebelum yang ada ini ada, dan ada setelah yang ada itu tiada. Dengan ungkapan yang lain, huwal awwalu wal akhir, Allah itu yang awal tanpa permulaan dan akhir tanpa penutup. Maka siapakah kita? Kita adalah makhluk yang berasal dari kholik Allah SWT.
Kalau kita renungkan dengan seksama, Allah SWT menciptakan kita dari tanah. Setiap hari kita menginjak tanah. Suatu saat, kita akan kembali berpisah antara ruh dengan jasadnya, yang jasadnya dimasukkan ke dalam lobang tanah. Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan kepada kita: “Yang mengantar atau mengikuti jenazah itu hanya tiga hal saja”.
Keluargannya? Keluarga yang paling mencintai dan dicintainya hanya mengantarkan sampai diatas kuburan. Sedangkan ketika jenazah dimasukkan ke lubang kubur, semuanya meninggalkan. Tiga langkah terakhir maka kita masuk kepada alam barzakh. Yang masuk menyertai kita ke lubang kubur adalah harta kita. Tetapi harta yang dibawa hanyalah sehelai kain kafan yang putih bersih, menyelimuti badan dan bertahan 40 hari 40 malam. Boleh jadi habis dimakan rayap, dimakan semut, dimakan cacing.
Awalnya binatang tanah itu memakan bahagian harta yang kita bawa, berupa kain kafan. Setelah kain kafan itu habis, binatang tanah itu memangsa kulit kita. Kulit kita terkelupas habis, lalu memakan daging kita. Dagingpun terkelupas habis tidak tersisakan, yang tersisa hanyalah tulang belulang.
Ketika manusia menjadi tulang belulang, penghuni tanah tidak ada kegagahan yang nampak disitu, tidak ada ketampanan yang nampak disitu, tidak ada lagi kekuasaan yang nampak disitu. Berhimpit dengan tanah yang tidak bisa dimaknai secara materi lagi. Sedangkan yang akan bermanfaat hanyalah amal sholeh.
Karena itu Nabi SAW mengisyaratkan, “seluruh amal anak cucu Adam akan terputus ketika ruh terpisah dengan jasadnya, kecuali tiga hal. Orang yang meninggalkan anak sholeh, meninggalkan ilmu yang bermanfaat, sedekah jariah atau kebaikan yang diberikan semasa hidupnya. Siapapun kita, kita adalah makhluk yang berasal dari kholik.
Dimana kita sekarang? Pertanyaan kedua ini dijawab dengan ayat berikutnya. Kita sekarang berada dalam arrahman arrahim dan maliki yaumiddin. Kita sekarang berada dalam genggaman kasih sayang Allah SWT, dibawah kerajaan Allah SWT, yang menguasai hari kemudian.
Maka kalau kita setiap hari bisa menghirup udara segar pemberian Allah, kalau kita berangkat ke pantai dan bisa melihat indahnya ombak menghempas ke tepian pantai, kalau menatap ke gunung, kita bisa menyaksikan gunung-gunung tinggi menghijau berpayungkan awan. Dan kalau kita menyaksikan kuningnya hamparan sawah laksana permadani yang dihamparkan, kita sekarang berada di dalam genggaman kasih sayang Allah SWT semata.
Andai saja Allah yang punya jagat raya dan seluruh isinya, mengisyaratkan atau mensyaratkan hambaNya yang bisa menghirup udara segar adalah hambaNya yang malam tadi qiyamul lail. Maka habis sudah mereka yang tadi malam tidak qiyamul lail. Pagi-pagi tidak bisa lagi menghirup udara segar pemberian Allah SWT.
Andaikan Allah SWT, mensyaratkan yang bisa melihat indahnya ciptaan Allah adalah mereka yang matanya basah karena taubat banyak beristigfar, maka celakalah mereka yang belum taubat dan tidak beristigfar. Karena Allah tidak izinkan melihat tanda-tanda kekuasaannya di jagat raya ini. Bahkan lebih dari itu, ketika kita masuk syurgaNya Allah, itu semata-mata karena kasih sayang Allah SWT.
Oleh karena itu Nabi berpesan kepada kita semua, “kasihilah yang ada di bumi, niscaya Allah yang di langit akan mengasihi kita semua”. Oleh karena itu, keluarga yang baik adalah keluarga yang sakinah. Dan ternyata keluarga sakinah itu adalah keluarga yang melestarikan nilai-nilai silaturrahim, selain nilai-nilai cinta.
Karena itu keluarga yang sakinah, ia punya modal mawaddah warahmah (cinta dan kasih sayang) sebagai spirit silaturrahim. Dan keluarga yang sakinah itu punya putra-putri yang baik. Putra-putri yang baik itu adalah putra-putri yang bermohon kepada Allah SWT untuk kedua orang tuanya. Doanya adalah spirit silaturrahim.
Dan masyarakat yang ideal itu adalah masyarakat yang berkasih sayang, serta masyarakat yang bertabur kasih sayang. Itu kita sebut dengan masyarakat yang marhamah yang punya spirit silaturrahim yang tinggi. Dan ternyata misi Nabi diutus oleh Allah di pentas jagat raya ini punya nilai-nilai silaturrahim yang tinggi. Bahkan nilai-nilai kasih sayang itu bukan hanya untuk manusia, apalagi hanya untuk ummat Islam. Tetapi untuk alam sekitar dan seluruh makhluk ciptaan Allah.
Kita kenal sepenggal sejarah, ketika Nabi migrasi dari Mekkah menuju Yastrib, singgah di jabal Tsur. Ketika masuk ke jabal Tsur, tidak ada daun yang lecet, tidak ada ranting yang patah. Burung yang bertelurpun tidak terganggu dengan kehadiran beliau, bahkan jaring laba-labanya pun tidak rusak dan terganggu dengan kehadirannya. Beliau inilah tipikal rahmatal lil ‘alamin.
Menebar kebaikan dimanapun berada, kepada siapapun yang ada. Maka pantas ketika kita sholat, diawali dengan takbiratul ihram membangun hablum minallah. Mengakhiri sholat, kita mengucapkan salam, sambil menengok ke arah kanan dan kiri. Membangun hablum minannas yang maksimal.
Begitu pula kalau membaca Al-Quran, surah pertama adalah surah Al-Fatihah. Isi, esensi, dan subtansinya tentang hablum minallah, tetapi surah terakhir surah Annas mengigatkan pentingnya hablum minannas.
Demikian pula dalam susunan Pancasila. Diawali dengan ketuhanan yang maha esa dan diakhiri sila kelimanya kemanusian yang adil dan beradab. Maka sebaik-baiknya ibadah mahdah adalah ibadah yang marefleksikan pada kehidupan sosial, mewujud pada akhlak yang semakin karimah.
Pertanyaan yang ketiga apa tujuan pokok kita? Dijawab oleh ayat iyyaka na’bu waiyyaka nasta’in. Untuk beribadah hanya kepada Allah SWT. Spirit ibadah ini sudah sejalan dengan apa yang dihimbaukan oleh para orang tua kita. “Yang disembah adalah Allah, yang dimohon adalah Allah SWT”.
Bagaimana cara melaksanakan tugas pokok itu? Dijawab oleh ayat berikutnya untuk melaksanakan iyyaka na’budu waiyyaka nasta’in. Dekati para ulama, karena ulama adalah merupakan pewaris para Nabi. Dekati ajarannya, kenali fatwa-fatwanya, ikuti wejangan-wejangannya. Dengan seperti itu kita akan berada pada jalan ihdinassiratal mustaqim.
Apa konsekwensi kalau kita melaksanakan perintah Allah SWT, dengan baik? Mengaku sebagai makhluk dari kholik Allah SWT, dengan cara yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Yang dilanjutkan oleh generasi penerusnya yaitu para ulama. Maka kita akan termasuk kelompok an’amta ‘alaihim (orang-orang yang diberi nikmat), bukan orang yang dimurka dan sesat. Apa yang dimaksud dengan nikmat? Uluma memberikan definisi tentang nikmat. Yaitu “sesuatu yang berawal dengan terpuji, dan berakhir dengan terpuji. Itulah yang sebut dengan nikmat”.