Ada perlindungan yang diperlukan untuk memastikan seluruh masyarakat merasa aman dan adil di balik hak kebebasan berekspresi. Dan tentu ada tanggung jawab untuk menjaga hak orang/kelompok lain dibalik kebebasan siapapun.
Begitupun, hak atas kebebasan berekspresi – dan apapun yang dilindungi atas namanya – bersifat subyektif. Mereka yang berada dalam posisi berkuasa sering kali memutuskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Tinjauan singkat atas kasus-kasus yang melibatkan jurnalis, akademisi, dan aktivis hak asasi yang telah dibungkam atau menghadapi tuntutan hukum karena pekerjaan mereka “hanya” karena mereka memberi perhatian kritis pada pembersihan etnis Palestina di Israel, telah dengan jelas menggambarkan subyektifitas (standar ganda) tersebut.
Contoh lain dari subjektivitas itu bisa dilihat pada 25 Januari 2023 lalu, ketika Twitter dan YouTube tunduk pada tekanan dari pemerintah India untuk menghapus referensi dan dokumentasi apa pun ke situs BBC yang menaruh perhatian pada peran PM Narendra Modi dalam program anti-Muslim Gujarat yang mematikan dan mengakibatkan meninggalnya ribuan nyawa Muslim Gujarat pada tahun 2002.
Kejahatan rasial, terutama yang menargetkan Muslim yang terlihat, terus terjadi, begitu pula pembatasan dan larangan jilbab yang semakin meningkat.
Tindakan vandalisme dan pembakaran masjid tidak ada habisnya, dan di banyak negara pihak berwenang telah mengambil tindakan yang cukup besar untuk mengkriminalisasi masyarakat sipil Muslim, menutup organisasi dan masjid dan memenjarakan tokoh muslim.
Sama seperti kebebasan berekspresi yang digunakan untuk membenarkan Islamofobia, hal itu juga jarang diangkat ketika hak-hak umat Islam dibatasi.
Muslim yang aktif secara politik dan mempertanyakan kebijakan yang bersifat Islamofobia dianggap sebagai “ekstremis” dan “simpatisan teroris”, membuat mereka rentan terhadap tuntutan pidana.
Bahkan akademisi Muslim yang mempelajari Islamofobia pun tidak aman dari tuduhan ini, seperti yang digambarkan dengan penargetan profesor Farid Hafez oleh otoritas Austria.
Dalam insiden-insiden ini, hanya ada sedikit diskusi seputar hak umat Islam atas kebebasan berekspresi. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bagaimana hak-hak yang tidak dapat dicabut diterapkan secara subyektif, seringkali merugikan kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan rentan.
Media arus utama memperkuat kiasan anti-Muslim dengan membingkai suara-suara seruan keadilan masyarakat muslim sebagai permusuhan dan “ekstremis”, mengkonstruksi mereka sebagai individu-individu yang berpikiran tertutup dan keras yang ingin membungkam kritik dan debat.
Sementara itu, Pembakaran Al-Quran adalah seruan simbolis untuk kekerasan terhadap umat Islam. Ini dimotivasi oleh fanatisme anti-Muslim dan dilakukan oleh individu maupun pemerintah berwenang yang memiliki sejarah mengambil bagian dalam tindakan provokatif yang ditujukan untuk memusuhi dan melecehkan umat Islam seperti di Prancis dan Denmark, sebagai contoh.
Referensi untuk “kebebasan berekspresi” dalam konteks seperti itu tidak lebih dari kedok pandangan anti-Muslim, terutama karena hak Muslim untuk bebas berekspresi semakin dibatasi di seluruh dunia. Bahkan di negara yang mayoritas muslim seperti Indonesia dan Arab Saudi.