SUARAKEADILAN.ID – Kutub at-turast atau kitab kuning merupakan sesuatu yang wajib bagi pondok pesantren. Namun karena membaca kitab kitab kuning memerlukan ilmu yang khusus maka tak jarang dari kalangan pembina pondok pesantren itu sendiri belum mampu untuk membaca terlebih lagi mengkaji kandungan kitab ini.
Untuk mengatasi problem ini, maka Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan mengadakan Bimtek Metode Pembelajaran Kitab Kuning Al-Miftah. Bimtek ini diikuti oleh perwakilan pimpinan pondok pesantren dari setiap daerah yang ada di Sulawesi Selatan. Acara ini berlangsung dari tanggal 29 April sampai tanggal 1 Mei 2019 di The Alden Hotel Jl. Lasinrang No. 6-8 Makassar.
H. Abu Bakar Paka selaku pemateri yang juga merupakan ketua MUI Kab. Gowa menjelaskan, ada 5 rukun yang harus dimiliki oleh pesantren (arkanul ma’had). Pertama, kyai yang menjadi figur teladan sekaligus pengasuh dan pembimbing santri. Kedua, santri mukim, Ketiga, masjid atau musholla. Keempat, pondok atau asrama, serta kelima adalah kajian kitab kuning.
“Jika salah satu dari kelima rukun diatas tidak terpenuhi, maka ia belum layak dikategorikan sebagai pesantren,” tandasnya.
Ketua MUI Kab. Gowa itu juga menyampaikan apresiasi yang telah diberikan oleh pemerintah kepada pondok pesantren yang ada di Sulawesi Selatan, tercatat ada 2 Ma’had di Sulawesi Selatan yang ijazahnya telah disetarakan (muadalah) dengan Perguruan Tinggi yaitu Ma’had Aly Mangkoso Kab. Barru dan Ma’had Aly Sengkang Kab. Wajo.
Sementara itu Subairi, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukhlisin DDI Paria selaku peserta bimtek sebagai utusan dari Kab. Wajo mengemukakan problem yang dihadapi oleh pondok pesantren yang ada di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan.
“Salah satu hal yang paling sulit yang kita hadapi saat ini adalah mengubah mindset para pembina pondok pesantren. Kebanyakan dari mereka bermindset sertificate oriented (orientasi ijazah-red) yang endingnya menjadi pegawai. Hal inilah yang membedakan kita dengan pembina pesantren yang ada di Jawa. Fokus mereka adalah mendidik santri dengan sungguh-sungguh,” paparnya.
Hal ini diakui sendiri oleh salah satu alumni Pondok Pesantren Sidogiri yang kini tengah mengabdikan dirinya di Pondok Pesantren Al-Mubarak Sudiang Makassar. Bahwa santri di Sidogiri belajar dari pukul 8 pagi hingga pukul 2 siang hari, didampingi oleh ustadz atau pembina pesantren. Kemudian dilanjutkan lagi dari pukul 4 sore sampai pukul 10 malam.
“Maka wajarlah dalam hal agama kita harus mengakui kehebatan pesantren yang ada di pulau Jawa,” katanya.(SUB)