Covid-19: Tak Hanya Virus, Tesnya pun Bisa Memakan Korban. Oleh: Khansa Mubshiratun Nisa, Mentor Kajian Remaja.
Belum lama ini jagat media dihebohkan dengan berita ibu hamil yang kehilangan buah hatinya dalam kandungan. Ia adalah Ervina Yana, warga Makassar Sulawesi Selatan yang dikabarkan tidak mampu membayar biaya swab test sebesar Rp2,4 juta sebagai syarat untuk ditindaknya operasi kehamilan. Setelah ditolak 3 rumah sakit, akhirnya bayi dalam kandungannya dinyatakan meninggal. (bbc.com, 18/06/2020)
Ternyata, bukan hanya virusnya saja yang bisa menyebabkan kematian, biaya tesnya pun meski secara tidak langsung, berpotensi memakan korban karena harganya yang tinggi. Dilansir bbc.com, 18/06/2020, biaya rapid test mulai dari Rp200.000-Rp500.000. Sementara swab test (alat PCR) antara Rp1,5 juta-Rp2,5 juta. Ini semua belum termasuk biaya administrasi dan biaya lainnya. Bagaimana bisa membayar itu semua sementara ekonomi masyarakat sedang anjlok? Ironisnya pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan yang mengharuskan setiap orang melakukan uji tes ini.
Mahalnya Tes Covid-19 Disebabkan Lepas Tangannya Pemerintah
Ketua Umum ARSSI (Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia) Susi Setiawaty menjelaskan mahalnya tes Covid-19 disebabkan pihak rumah sakit harus membeli sendiri alat dan perlengkapan tes. Belum lagi biaya untuk membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam tes tersebut. Mulai dokter, petugas laboratorium, hingga petugas medis yang membaca hasil tes. Bila saja semua ditanggung oleh pemerintah, maka harga tes ini tak mungkin mahal.
Ini juga sebagai akibat belum turun tangannya pemerintah dalam menetapkan biaya tes. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, seharusnya pemerintah segera menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) agar masing-masing instansi tidak menentukan harganya sendiri. Lebih jauh bahwa yang terpenting agar masyarakat tidak menjadi obyek pemerasan dari oknum dan lembaga kesehatan tertentu dengan mahalnya biaya tes ini.
Kapitalisme Akar Masalahnya
Trubus Rahadiansyah selaku pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, menyebutkan bahwa saat ini terjadi komersialisasi tes Covid-19 yang dilakukan rumah sakit swasta akibat dari lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes virus ini. Untuk itu, ia menawarkan dua solusi yang perlu dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini. Pertama, pemerintah harus menanggung semua biaya uji tes, baik rapid maupun swab test. Berdasarkan keputusan pemerintah tentang kedaruratan virus Corona dan penetapan Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam dan diperkuat dalam Perppu No. 1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang yang salah satu isinya tentang pembiayaan penanganan pandemi Covid-19.
Kedua, jika anggaran negara terbatas, maka pemerintah harus mengeluarkan aturan khusus yang mengatur pelaksanaan tes Covid-19, baik untuk rumah sakit swasta maupun pemerintah. Di sini pemerintah harus turun tangan menetapkan harga standar yang terjangkau.
Namun, meski sudah banyak para pakar dan ahli yang mencoba memberi solusi kepada pemerintah, pada faktanya tak ada satu pun yang diikuti. Negara seolah tidak berani menentukan HET tes virus yang mahal ini. Padahal masyarakat saat ini tengah diliputi kondisi yang mecekik. Beragam kebutuhan demikian sulit dijangkau. Tagihan listrik yang melonjak naik, harga pangan yang mahal, pengangguran akibat PHK saat pandemik dan ekonomi yang sulit akibat PSBB. Kemudian new normal diberlakukan dan sasaran utama yang dituju adalah pembukaan tempat pariwisata, bukan kantor-kantor.
Begitulah jika kapitalisme masih bercokol di negeri ini. Negara hanya bertugas sebagai sarana (regulator) bagi para pemilik modal untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya melalui komersialisasi ini. Bukannya menjadi penanggung jawab dalam memberikan fasilitas kesehatan gratis untuk masyarakat.
Hal ini menggambarkan betapa lemahnya peran pemerintah dalam mengurus persoalan rakyat, khususnya dalam bidang kesehatan. Sistem kesehatan berbasis asuransi yang selama ini dibanggakan nyatanya tidak mampu memberikan solusi. Setelah rakyat dibebani premi yang mahal, namun faktanya saat ini rakyat masih harus membayar dengan alasan yang berbelit demi tetap mendapat keuntungan. Semuanya diukur dengan takaran untung rugi, tak peduli rakyat yang menjadi korban.
Bagaimana dengan Islam?
Ketika Covid-19 tak kunjung reda, kezaliman merajalela, masyarakat makin tak berdaya, inilah waktu yang tepat untuk mengembalikan Islam sebagai aturan kehidupan.
Sistem Islam telah memberikan contoh bagaimana tata cara penaggulangan wabah yang terbukti efektif. Saat terjadi wabah, negara dengan sigap akan mengambil langkah lockdown dan segera memisahkan antara yang terkena wabah dan yang sehat. Pasien yang terkena wabah akan dikarantina dengan pengobatan dan fasilitas kesehatan terbaik, pastinya hingga betul-betul sembuh. Dengan konsep jaminan kesehatan seperti ini maka akan menjamin segala macam bentuk tes dan uji laboratorium diselenggarakan dengan cuma-cuma alias gratis kepada rakyat.
Hal ini di karenakan Islam memandang bahwa kesehatan adalah kebutuhan pokok umat yang berada di pundak negara. Sama halnya dengan pendidikan dan keamanan yang dikategorikan sebagai kolektif masyarakat. Selain itu, kebutuhan pokok individu pun sama-sama menjadi tanggungan negara, seperti sandang, pangan dan papan. Dengan begitu, maka seluruh kebutuhan pokok umat, baik yang terkait dengan individu maupun kolektif masyarakat, semuanya dijamin oleh negara yang berlandaskan aturan Islam. Tentunya semua melalui mekanisme syari’ah.
Terkait biaya yang digunakan negara untuk memenuhi seluruh kebutuhan umatnya, itu semua berasal dari pendapatan negara yang bersumber dari kekayaan milik umum dan kekayaan milik negara. Kekayaan milik umum berasal dari SDA (Sumber Daya Alam) seperti tambang emas, batubara, minyak dan gas. Sedangkan kekayaan milik negara bedasal dari kharaj (pengurusan tanah dan lahan), jizyah (hak kaum Muslimin dari orang kafir sebagai bentuk tunduk kepada aturan Islam), ghanimah (harta rampasan perang), zakat, dharibah (pajak yang dibebankan hanya pada Muslim kaya dengan jumlah yang ditentukan dan tak bersifat permanen) dan lainnya. Seluruh pemasukan negara ini dihimpun di baitul mal.
Semua ini dilakukan karena sistem Islam betul-betul menyoroti bahwa umat adalah prioritas utama untuk dipenuhi segala kebutuhannya. Di sisi lain, sistem Islam pun akan melahirkan Khalifah (pemimpin) yang ta’at, takwa dan amanah dalam menjalani kewajibannya untuk mengurusi urusan umat. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Sungguh sangat jelas apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw. bahwa pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah dipimpinnya kelak di akhirat. Takkan luput juga dari hisab Allah Swt. terkait sudah berapa banyak nyawa yang hilang begitu saja selama masa kepemimpinanya. Tidakkah kita rindu dan ingin kembali berada dalam naungan Islam?
Wallaahu a’lam bish shawab.