Hukum Pembunuh Bayaran dalam Fiqih Islam. Oleh KH. Imaduddin Utsman, Wakil Katib PWNU Banten.
Pembunuh bayaran adalah orang yang membunuh korban berdasarkan pesanan pihak yang membayar. Lalu siapakah yang bertanggung jawab dalam pembunuhan itu? Pembunuh bayaran atau orang yang memerintahkan atau memesan? Saya akan bahas masalah ini berdasarkan pendapat ulama fiqih Islam.
Dalam fiqih Islam dibahas bagaimana bila ada orang yang menyuruh orang lain untuk membunuh seseorang dengan diancam bila ia tidak melaksanakan pembunuhan itu maka ia akan dibunuh.
Para ulama sepakat dalam keadaan dipaksa seperti itupun haram hukumnya ia melaksanakan pembunuhan itu. Karena nyawa orang lain sama dimulyakannya dalam islam seperti nyawa dirinya. Sama saja hukumnya apakah yang memerintahkan ini adalah orang biasa atau penguasa, kecuali ia adalah petugas yang diberi kuasa atas nama hukum untuk melaksanakan pembunuhan itu. Hal itupun apabila ia yakin bahwa perintah yang diberikan kepadanya itu sesuai dengan perturan dan atasnama kebenaran. Dalil yang dipakai oleh para ulama dalam masalah ini adalah ketaatan kepada ulil amri.
Adapun bila ia tidak yakin bahwa perintah itu sesuai peraturan dan atasnama kebenaran maka haram baginya untuk melaksanakan pembunuhan itu. Berdasarkan dalil tidak adanya ketaatan kepada makhluk untuk melawan ketaatan kepada Tuhan. Apabila ia tetap melaksanakannya maka ia mendapat hukuman pembunuhan al qotl al amdu (pembunuhan sengaja). Yang berhukum qisos (dibunuh sebagai balaspati) atau diyat (denda, bila keluarga korban memaafkan dan meminta denda).
Apabila pembunuh yang diperintah ini dalam keadaan terpaksa, seperti ia dalam ancaman jika ia tidak melaksanakannya maka ia yang akan dibunuh, maka menurut Imam Malik hukum qisos berlaku untuk dirinya dan yang memerintahkannya. Artinya keduanya harus di qisos.
Sedang menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, apabila pembunuh ini mengetahui bila pembunuhan ini tanpa haq. Maka yang diqisos hanya pembunuh sedang yang menyuruhnya dihukum berdasarkan keputusan atau pandangan hakim.
Bila yang memerintahkan pembunuhan ini adalah negara, menurut ulama syafi’iyah dan Hanabilah, bila pembunuh ini tidak mengetahui bahwa perintah ini tanpa hak maka qisos hanya untuk yang memerintahka. Sedangkan yang diperintahkan ini dimaafkan berdasarkan qaidah wajibnya toat kepada pemimpin dalam hal bukan maksiat. Dan secara dohir, biasanya pemerintah tidak menyuruh kecuali kebenaran.
Sedang menurut Abu Hanifah, pemberi perintah pembunuhan tidak diqisos kecuali bila ia terbukti memaksa. Seperti tidak diqisos pula yang diperintah bila pemberi perintahnya adalah atasannya.
Pendapat yang mengatakan tidak diqisos itu bukan berarti sama sekali tidak dihukum. Arti tidak diqisos adalah tidak wajib dihukum mati. Tapi hakim bisa memutuskan hukuman berat yang setimpal sesuai pandangan hakim.
Dari keterangan di atas, hukum pembunuh bayaran dapat di qiyaskan sesuai dengan keadaannya. Penjelasan ini adalah menurut ilmu Fiqih. Adapun ancaman yang mengerikan atas dosa pembunuhan yang akan diterima oleh pembunuh atau yang memerintahkan di dalam neraka, bukan ranah ilmu fiqih. Wallahu a’lam