New Normal, Masyarakat Jadi Korban, Benarkah? Oleh: Epiyanti Rahayu, Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif.
Pemberlakuan new normal atau kenormalan baru selama pandemi Virus Covid-19 yang direncanakan pemerintah dinilai belum tepat. Sebab, Indonesia masih belum aman dari penyebaran Covid-19.
Angka kasusnya pun semakin tinggi. Kasus positif virus corona (Covid-19) hingga Minggu (21/6) mencapai 45.891 kasus. Dari jumlah itu, 18.404 orang dinyatakan sembuh dan 2.465 orang lainnya meninggal dunia. Jumlah kumulatif kasus virus Covid-19 sudah tembus 40 ribu lebih dalam kurun waktu tiga bulan sejak kasus pertama diumumkan 2 Maret 2020. Terhitung dari 1 Juni sampai 16 Juni lalu, jumlah kasus positif virus corona bertambah 13.927 kasus. Angka kenaikan kasus positif hingga pertengahan Juni 2020 itu hamper melampaui jumlah kasus sepanjang Mei 2020. Terhitung sejak 1 sampai 31 Mei, jumlah kasus positif mencapai 16.355 orang. (cnnindonesia.com, 22/06)
Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dr. Iwan Ariawan menyampaikan, dengan jumlah kasus yang masih terbilang tinggi maka penerapan new normal berisiko tinggi terhadap makin masifnya penyebaran virus Covid-19.
Seperti yang dilansir oleh cnnindonesia.com, Senin (22/06/2020), dr. Iwan Ariawan mengatakan dalam diskusi virtual yang diadakan oleh Para Syndicate, “Seharusnya, mengacu persyaratan WHO, kalau kondisi jumlah kasus tidak naik selama dua minggu baru bisa dilonggarkan bahkan ada beberapa negara yang menetapkan pelonggaran dilakukan kalau sudah menurun selama satu bulan. Jadi sekarang kondisi di Indonesia belum aman untuk keluar dan bergerak, risikonya masih tinggi.”
Sekalipun saat ini pemerintah mulai melonggarkan sejumlah aturan, tapi Iwan menyarankan tindakan pencegahan seperti cuci tangan, pakai masker dan jaga jarak harus tetap dijalankan.
“Ini pun sebenarnya tidak menjamin, karena pemahaman yang masih kurang di tengah masyarakat. Untuk sebagian besar, aturan itu hanya dianggap sebagai larangan yang kalau tidak dilakukan akan kena denda bukan risiko terinfeksi penyakit,” ujar Iwan.
“Karena itu, angka kasus ini bisa naik lagi, bahkan bukan sebagai gelombang kedua,” tambahnya.
Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dr. Panji Fortuna Hadisoemarto juga menilai pemerintah seharusnya focus pada menekan angka kasus virus corona dahulu ketimbang berpikir melonggarkan aturan demi ekonomi.
“Agenda pemberantasan penyakitnya tidak ada, narasi yang dibawa malah hidup berdampingan, berdamai dengan covid. Ini masalahnya kebijakan amburadul karena arahnya bukan memberantas, kalau agendanya kuat untuk memberantas Covid-19 baru kita bisa menemukan jalan,” kata Panji.
Menurut Panji, perekonomian Indonesia pun akan sulit berjalan kalau wabah belum diatasi karena kesehatan masyarakat perlu diperkuat lebih dulu.
Sepakat dengan hal itu, Iwan menambahkan, pemerintah seharusnya memikirkan kesehatan masyarakat terlebih dulu ketimbang ekonomi.
“Kesehatan harus aman dulu baru ekonomi bisa tumbuh. Pedomannya itu harus aman dan produktif, jangan terbalik produktif dulu baru nanti aman,” ucapnya.
Untuk itu, Panji dan Iwan sama-sama berharap agar pemerintah mengutamakan mengatasi Covid-19 secara benar. Selain itu, mereka juga meminta pemerintah berkata jujur dan transparan dengan situasi yang sebenarnya terjadi.
“Sekarang bukan saatnya menyerah, dan jangan mengubah narasi ini kalau ini baik-baik saja. Sekarang waktunya menempatkan ilmu pengetahuan sebagai nahkoda, lakukan komunikasi yang baik, dan perkuat leadership jangan hanya gunakan empati tapi jujur, tidak menutup-nutupi,” kata Panji.
Inilah yang tengah terjadi di Negara kita. Para ahli berpandangan bahwa tingginya angka kasus baru virus Covid-19 di berbagai daerah karena pelonggaran PSBB di tengah kondisi ketidaksiapan masyarakat. Oleh karena itu seharusnya program new normal dicabut. Sementara pihak pemerintah beralasan karena factor tes massif dan pelacakan agresif yang dilakukan oleh pemerintah.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menyebut masih tingginya kasus baru Covid-19 karena pelacakan yang dilakukan secara agresif. “Penambahan ini sangat signifikan di beberapa daerah karena kontak tracing dari kasus konfirmasi positif yang kami rawat lebih agresif dilaksanakan dinas kesehatan di daerah,” kata Yurianto dalam keterangannya di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu sore. Yuri menyebut, orang yang ditemukan lewat hasil pelacakan itu kemudian dites spesimennya menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Tes Cepat Molekuler (TCM). (kompas.com, 20/06)
Namun, dimasa pandemic seperti saat ini Negara harus cepat, tegas, dalam menerapkan suatu kebijakan yang tidak hanya menguntungkan pihak mereka saja. Negara harus bisa memahamkan masyarakat terkait wabah ini dan segera menanganinya dengan serius, sehingga tidak terjadi kebingungan di tengah masyarakat. Bukan malah saling tuding.
Inilah yang terjadi ketika Negara mengadopsi sistem kapitalis sekuler. Dimana dalam sistem ini tidak mementingkan kemaslahatan rakyat, mereka tidak peduli dengan nyawa rakyatnya. Maka, tidak heran mereka (para penguasa) membuat kebijakan-kebijakan yang selalu menyengsarakan rakyat bahkan tidak segan untuk mengorbankan nyawa rakyatnya sekalipun. Mereka tidak memikirkan baik buruknya ketika menerapkan suatu kebijakan.
Lantas bagaimana dalam pandangan Islam?
Dalam Islam ketika terjadi wabah seperti saat ini, akan dilakukan sistem lockdown di daerah yang terdampak. Dalam pemerintahan Islam, yaitu Khilafah menjadikan Negara sebagai junnah (perisai) yang akan melindungi rakyatnya dan berupaya meminimalisasi korban yang berjatuhan akibat wabah seperti saat ini. Ketika telah diketahui ada wabah yang menyerang, Negara akan langsung menyatakan daerah itu diisolasi, sehingga wabah tersebut tidak akan menyebar keluar daerah.
Rasulullah saw. bersabda: ” Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempatitu.” ( HR. Bukhari)
Adalah tanggungjawab Negara untuk melakukan tes dan pelacakkan agar memastikan individu terinfeksi tidak menular ke yang sehat. Juga merupakan kewajiban Negara mencari jalan keluar jitu bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terdampak pembatasan selama masa karantina. Semestinya kelesuan ekonomi yang dialami pelaku ekonomi raksasa/ kapitalis tidak menjadi pendorong kuat pemerintah memberlakukan new normal dengan risiko mengorbankan keselamatan jiwa masyarakat luas.
Inilah Islam dengan negaranya khilafah yang mampu melaksanakan tugasnya sebagai pelindung dan pengayom atau pelayan rakyat dengan mengambil kebijakan yang tegas dan tepat. Adapun untuk pemulihan kondisi ekonomi dan lain-lain, bisa dilakukan setelah situasi terkendali.
Selama menggunakan sistem yang rusak, selama itu pula akan timbul banyak permasalahan. Oleh karenanya, untuk segera menggantinya dengan sistem Islam, sebagai sistem terbaik yang berasal dari Allah Subhaanahuwata’ala. Wallahua’lambishshawab.